Friday, May 30, 2014

[Fanfiction] The Beginning (Chapter 7)


Title: The Beginning

Chapter: 7/? 
Genre: Romance, Comedy, School-life

Rate: PG-12

Disclaimer: Plot belongs to me yet inspirated from my friend's fic (you can check it in here. The title of the fic is 'Between You and Me').

Cast:
-EXO members
-Original Characters

Summary: Pertemuan pertama pasangan yang kalian kira manis awalnya tidak semanis yang kalian kira.
Author Notes:
HUAHAHAHAHAHA AKHIRNYA UPDATE JUGA~ karena saya pernah mendapat protes (?) saya memutuskan untuk memanjangkan chapternya jadi 5000an words wkwk. Maaf kalau tidak memuaskan, habisnya otak saya agak nge-blank nih wkwk
Pokoke hepi reading ya~ ^^

~oOo~

Tao beranjak dari tempat duduknya begitu kelas sudah sepi. Dilihatnya sosok Hyunra yang berada di tempat duduknya, tengah sibuk melakukan sesuatu.
Karena penasaran pemuda keturunan Cina itu berjalan menghampiri gadis yang (akhirnya) menjadi teman sekelasnya itu.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Tao hati-hati begitu ia sudah berada di dekat meja Hyunra. Yang ditanya menoleh ke arah Tao–tanpa tahu kalau Tao sempat tersentak melihat wajah menggemaskan itu kini tengah menatapnya.

“Ah, kau mengagetkanku, Tao. Aku sedang menulis,” jawab Hyunra.

“Eh? Menulis apa?” tanya Tao sembari melihat apa yang ditulis Hyunra.

“Menulis cerita,” Hyunra menjawab sambil tersenyum–kegiatan menulis cerita sudah menjadi kesenangannya tersendiri. Kembali Tao terperangah melihat senyum Hyunra yang mengalihkannya dari realita.

“Wah, kau menulis cerita? Keren sekali,” Tao berdecak kagum. Mendengar itu membuat Hyunra tersenyum.

“Tidak juga. Aku lebih sering menulis cerita tentang percintaan,” ucap Hyunra yang diakhiri helaan nafasnya, tanpa tahu kalau Tao tersenyum mendengar ucapannya barusan.

Andaikan ia tahu kalau Tao ingin menjadi tokoh utama dalam cerita buatannya.....

“Ah, iya!” tiba-tiba Hyunra teringat sesuatu. Ia kembali menoleh ke arah Tao–yang masih berdiri di samping bangkunya dengan setia. Kembali Tao hanya bisa tersentak karenanya.

“Kau sudah hafal tempat-tempat di sekolah ini, belum?” tanya Hyunra. Tao menggelengkan kepalanya. Harusnya tadi ia ditemani Joonmyeon mengelilingi sekolah barunya ini, tetapi karena jam pertama di kelas saudara jauhnya itu adalah pelajaran sejarah–dan ia ada ulangan. Jadinya Tao tidak sempat mengelilingi sekolah barunya itu.

Tiba-tiba Hyunra menaruh pensilnya ke dalam kotak pensilnya dan menutup buku yang tadi ia pakai untuk menulis cerita. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya.

“Ayo sini. Kuajak kau keliling-keliling sekolah barumu,” ajak Hyunra. “Bagaimanapun juga kau sudah menjadi bagian dari Jeguk Middle School,” tambah gadis itu sebelum menarik tangan Tao.

Lagi, tanpa gadis itu sadari, wajah Tao merona hebat begitu tahu kalau Hyunra tengah menyeretnya–mengajaknya berkeliling di sekolah ini. Mereka berdua pun kemudian berjalan keluar dari kelas mereka.

~oOo~

“Kalau yang ini ruangan laboratorium biologi. Kau tahu sendiri ‘kan biasanya kita melakukan apa di dalam laboratorium biologi?” tanya Hyunra sembari menunjuk laboratorium biologi. Tao hanya terkekeh mendengar pertanyaan Hyunra barusan.

“Tentu saja aku tahu, Hyunra-sshi,” jawab Tao. Hyunra menggembungkan pipinya.

“Kita ‘kan sudah kenal dan dekat. Kenapa masih memanggilku dengan embel-embel ‘-sshi’?” gerutu gadis bermarga Park itu.

Tao terkekeh pelan. “Memangnya aku harus memanggilmu dengan panggilan apa?”

“Terserah kau sih,” jawab Hyunra seadanya. Membuat Tao tampak berpikir sejenak.

“Bagaimana kalau aku memanggilmu ‘Hyunnie’?” tanya Tao, namun pemuda itu kemudian membekap mulutnya dengan kedua tangannya.

Kenapa harus panggilan seperti itu sih? rutuknya dalam hati.

Hyunra sempat terkejut mendengarnya. Tetapi tak lama gadis itu tersenyum.

“Boleh saja. Terkadang teman-temanku juga memanggilku ‘Hyunnie’,” jawab gadis itu.

Tao menghela nafasnya lega. Ia merasa senang karena sudah dianggap dekat oleh Hyunra. Tampaknya pintu menuju hati seorang Park Hyunra perlahan mulai terbuka.
 
Mereka berdua pun melanjutkan perjalanan mereka sampai akhirnya kedua mata Hyunra menangkap sesuatu dari kejauhan.

“Eoh? Bukankah itu Jongdae?” gumam Hyunra, kedua kakinya berhenti melangkah. Dapat tertangkap olehnya kalau pemuda itu terlihat kesal entah karena apa.

Ya! Jongdae!” Hyunra mencoba memanggilnya. Tetapi pemuda itu tampak tak bergeming–walau ia menyadari kalau Hyunra memanggilnya. Jongdae justru berjalan melewati Hyunra dan Tao begitu saja, meninggalkan baik Hyunra maupun Tao yang menatap heran ke arahnya.

“Bocah itu kenapa sih,” gumam Hyunra. “Tidak biasanya dia seperti itu.”

“Ah jinjja?” tanya Tao. Maklum, ia masih belum begitu tahu tentang Jongdae.

Hyunra menganggukkan kepalanya. “Ne. Biasanya dia selalu nyengir setiap saat. Tapi tumben sekali ia terlihat seperti orang PMS begitu,” jelas Hyunra. Kembali Tao hanya bisa terkekeh mendengarnya.

“Kau lucu sekali,” puji Tao. Mendengar itu membuat pipi Hyunra sedikit bersemu.

“Ah iya! Mari kita lanjutkan lagi kegiatan tour Jeguk Middle School yang sempat terhenti tadi!” seru Hyunra lagi dan lagi-lagi Tao hanya bisa terkekeh karenanya.

~oOo~

-Sementara itu, di kelas 3-3...-

Joonmyeon tengah mendengarkan lagu dari iPod-nya. Tidak mengerjakan latihan soal seperti biasanya. Sementara itu Luhan yang baru saja kembali dari kantin langsung mendudukkan tubuhnya di atas bangkunya.

“Hei,” Luhan memanggil Joonmyeon. Karena tahu pemuda itu tidak akan mendengarnya begitu saja, dengan lembutnya pemuda Cina itu memukul pelan bahu Joonmyeon.

Merasa dipanggil, Joonmyeon melepas salah satu headset-nya lalu menoleh ke arah Luhan yang sudah duduk di sampingnya.

Mwohae?” tanya Joonmyeon. Sementara yang ditanya malah menyunggingkan senyum misterius.

“Kau tidak berangkat ke sekolah bersama adiknya Minseok-hyung lagi,” jawab Luhan dengan suara yang pelan. Mendengar itu dahi Joonmyeon mengernyit. Sebenarnya Luhan ini stalker-nya atau apa, sih?

“Lalu?” Joonmyeon bertanya lagi.

“Tampaknya kau tidak secerah waktu itu, ketika kau berangkat ke sekolah bersamanya,” jawab Luhan sekenanya. Joonmyeon melirik teman sebangkunya itu.

“Maksudmu?”

“Aish....kau senang sekali sih bertanya dengan satu kata,” gerutu Luhan. “Ayolah, Joonmyeon. Perbedaannya kontras sekali ketika kau pergi ke sekolah bersama adiknya Minseok-hyung sama ketika kau pergi ke sekolah tidak bersamanya melainkan dengan pemuda lain.”

“Pemuda itu saudara jauhku dari Cina,” ujar Joonmyeon.

“Cina? Jinjja? Ah iya aku lupa kalau ayahmu ada darah Cina,” kata Luhan. “Lalu, bagaimana perkembangannya?”

“Perkembangan apanya, sih?” Joonmyeon bertanya balik. Tampaknya ia mulai kehabisan kesabaran.

Dengan baiknya Luhan memukul kepala teman sebangkunya itu. “Kau ini.....padahal IQ-mu hampir menyamai Einstein tapi kenapa kau jadi bodoh begini sih?” omel Luhan. “Ternyata cinta itu bisa membuat orang menjadi tambah bodoh, ya.”

“Hei apa maksudmu, rusa?” tanya Joonmyeon kesal sembari mengelus kepalanya.
Sementara yang dimaksud ‘rusa’ memutar kedua bola matanya kesal. “Kukira kau sedang pendekatan dengan adik dari mantan kapten tim bola sekolah kita,” jawabnya dengan nada agak menyindir.

Mendengar kalimat yang diucapkan Luhan barusan membuat kedua pipi Joonmyeon agak merona. “Pendekatan darimananya? Susah didekati begitu,” gumam Joonmyeon pelan. Namun masih terdengar dalam indera pendengaran Luhan.

“Kau terdengar seperti sudah putus asa begitu,” ledek Luhan. Joonmyeon menatap teman sebangkunya sengit.

“Ayolah, Joonmyeon. Terlihat jelas kok kalau kau memerhatikan gadis itu secara khusus, tidak seperti kau melihat gadis-gadis yang lain pada umumnya,” ujar Luhan.

“Kau ini stalker-ku atau bagaimana?” Luhan hanya tertawa pelan mendengar gerutuan Joonmyeon barusan.

“Joonmyeon-sshi,” tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggil nama Joonmyeon dari bangku depan. Yang dipanggil langsung menoleh.

“Oh. Waeyo, Sungchan-sshi?” tanya Joonmyeon begitu tahu kalau yang memanggilnya adalah Han Sungchan. Sungchan termasuk gadis yang normal-normal saja alias bukan tipikal yang suka ‘sok kenal sok dekat’ dengannya. Makanya Joonmyeon masih merasa tenang-tenang saja kalau ada Sungchan.

Walau tidak setenang ketika bersama orang itu, sih.

“Kau disuruh mengumpulkan tugas matematika yang tadi ke ruang guru,” jawab Sungchan sembari menyerahkan setumpuk kertas berisikan tugas soal matematika. Dengan hati-hati Joonmyeon menerima tumpukan kertas-kertas tugas itu.

“Wah pasti jadi ketua kelas itu merepotkan sekali, ya,” sindir Luhan. Kembali Joonmyeon menatap sengit pemuda Cina itu.

“Lebih baik kau diam saja, wakil ketua kelas,” balas Joonmyeon.

“Kalian ini aneh, ya. Berteman dekat tapi sering bertengkar seperti ini,” komentar Sungchan yang sudah terbiasa dengan pemandangan persahabatan yang unik itu.

Luhan menoleh ke arah Sungchan, sebuah senyum terukir di wajah manisnya. “Beginilah cara kami menunjukkan rasa peduli kami, Sungchan-ah.

Joonmyeon dapat menangkap guratan merah pada pipi Sungchan. Pemuda bermarga Kim itu menahan tawanya. Ia tahu betul kalau Sungchan memendam perasaan pada Luhan. Mungkin orang lain bahkan Luhan tidak tahu karena memang tidak begitu terlihat. Tapi Joonmyeon yakin kalau Sungchan suka pada Luhan.

“Oh iya, Joonmyeon-ah. Kertasku sudah disitu, ya,” Luhan mengingatkan Joonmyeon.

Ne, arasseo, tuan rusa,” balas Joonmyeon sembari memutar kedua bola matanya. Ia pun kemudian berjalan menuju ke ruang guru dengan setumpuk kertas tugas di tangan.

~oOo~

-Ruang guru Jeguk Middle School....-

Tampak guru matematika yang mengajar di Jeguk Middle School, yaitu Cho-seonsaeng, tengah menatap sebuah kertas yang diyakini sebagai lembar jawaban ulangan. Kemudian ia menoleh kearah seorang siswi yang tengah berdiri di samping kursi yang tengah didudukinya.

“Shin Heerin,” suara Cho-seonsaeng terdengar agak horror bagi kedua telinga siswi itu–yang ternyata adalah Heerin.

N-ne, seonsaengnim?”

“Kudengar dari wali kelasmu Yoo-seonsaeng kalau kau itu termasuk murid yang rajin, tapi.....” Cho-seonsaeng menaruh lembar jawaban ulangan milik Heerin ke atas meja kerjanya.

“Bisakah kau menjelaskan kenapa hasil ulanganmu menjadi yang terendah di kelas?” tanya Cho-seonsaeng pelan tapi mengerikan. Heerin menelan ludahnya getir. Guru matematikanya yang satu ini memang killer, makanya Heerin agak takut padanya.

“Errr, itu–“

“–apa pelajaran saya tidak menyenangkan bagimu?” tanya Cho-seonsaeng lagi. Spontan Heerin langsung menggelengkan kepalanya.

Sebenarnya penjelasan Cho-seonsaeng itu sangat bisa dimengerti. Hanya saja....dari dulu Heerin memang tidak pernah tertarik dengan hitung-hitungan.

Terbukti ketika tiap pelajaran matematika, bukannya memperhatikan materi yang diterangkan ia malah asyik menggambar di bagian belakang buku tulisnya. Tentunya pakai pensil agar bisa dihapus dengan mudah.

“Kalau begitu?” tanya Cho-seonsaeng lagi. Heerin tampak memikirkan jawaban yang menurutnya tepat.

“Saya merasa tidak pernah bisa berdamai dengan matematika, seonsaeng,” jawab Heerin sekenanya. Yah, jawabannya itu ada benarnya juga, sih.

Cho-seonsaeng hanya bisa menghela nafasnya.  “Padahal kau berteman dekat dengan Hyunra dan Seungwoo yang notabene 2 besar di kelas. Dan saya yakin kalau kau sebenarnya bisa melebihi mereka....”

Kalau melebihi mereka dalam hal bermain game sih, iya, batin gadis bermarga Shin itu. Ia tidak merasa kalau dirinya dapat melebihi kecerdasan otak teman-temannya itu.

“Memangnya kau tidak pernah minta diajari oleh mereka?” tanya Cho-seonsaeng. Untung saja guru killer yang satu itu akan menjadi baik kalau di luar jam pelajaran.

“Ah itu.....saya tidak mau membebani mereka. Apalagi rumah mereka cukup jauh dari rumah saya,” jawab gadis bermarga Shin itu agak tegas.

“Ah geurae?” Heerin menganggukkan kepalanya. Ia menyadari kalau Cho-seonsaeng tidak menatapnya saat ini, melainkan tengah menatap sesuatu yang ada di belakangnya. Gadis itu langsung menoleh ke arah belakangnya.

Ia hampir saja tersentak begitu mendapati sosok Joonmyeon berdiri di belakangnya dengan setumpuk kertas di tangan. Mengetahui maksud pemuda itu, Heerin memberikan jalan agar pemuda itu lewat.

Sementara Joonmyeon sendiri tidak menyangka kalau ia akan bertemu dengan orang yang sedari tadi Luhan bicarakan di kelas sebelum ia ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas.

“Ini, seonsaengnim. Saya ingin mengumpulkan tugas yang Anda suruh kami kerjakan tadi,” kata Joonmyeon sopan sembari meletakkan tumpukan kertas tugas matematika diatas meja Cho-seonsaeng.

Cho-seonsaeng tengah menatap Joonmyeon lalu kemudian menatap Heerin secara bergantian.

“Joonmyeon-sshi,” panggil Cho-seonsaeng pada akhirnya.

Ne, seonsaeng?” tanya Joonmyeon. Cho-seonsaeng kembali menatap Joonmyeon dan Heerin bergantian.

“Kalian berdua bertetangga, ‘kan?” tanya Cho-seonsaeng. Joonmyeon menganggukkan kepalanya sementara itu Heerin kaget mendengar pertanyaan gurunya barusan.

Firasatku tidak enak, batin gadis itu.

“Memangnya ada apa, seonsaengnim?”

“Begini. Tetanggamu yang satu ini memiliki permasalahan dengan nilai matematikanya,” terang Cho-seonsaeng. Joonmyeon menoleh kearah Heerin, yang kemudian disambut dengan tatapan ‘apa kau lihat-lihat?’ dari gadis itu sendiri.

“Dan kau termasuk siswa yang sangat cerdas dan berkompeten di sekolah ini.”

“Maaf, seonsaeng. Bukannya bermaksud kurang ajar atau apa, tapi bisakah kita langsung ke intinya?” kali ini giliran Heerin yang bertanya. Cho-seonsaeng hanya bisa tersenyum penuh arti kepada siswinya yang satu itu.

“Saya mencoba meminta tolong kepada tetanggamu yang satu ini, apakah ia mau membantumu mempelajari lebih dalam tentang matematika atau tidak,” jawab Cho-seonsaeng santai.

Mendengar itu membuat kedua mata Joonmyeon dan Heerin membelalak lebar.

Aku tidak salah dengar, kan? batin mereka berdua yang secara kebetulan secara bersamaan. Hanya saja, yang satu merasa senang mendengar berita itu sedangkan yang satu lagi tidak merasa senang mendengar berita itu.

“Maksud seonsaengnim?” tanya mereka berdua serempak. Cho-seonsaeng mencoba menahan tawanya sebisa mungkin.

“Kalian berdua ‘kan bertetangga. Jadi Joonmyeon-sshi bisa membantumu agar kau bisa mengerti matematika lebih baik, Heerin-sshi. Apalagi dia lebih memiliki akses yang luas untuk mengajarimu,” jelas Cho-seonsaeng. Heerin mencoba untuk tidak mendengus sebisa mungkin.

Memiliki akses yang luas, katanya? Apa-apaan....

Guru matematika itu kemudian menatap kearah Joonmyeon. “Kau bisa membantunya ‘kan, Joonmyeon-sshi?”

Heerin melirik ke arah pemuda bermarga Kim yang masih berdiri di sampingnya itu.


Kumohon bilang tidak, kumohon bilang tidak, kumohon bilang–



“Tentu saja saya bisa, seonsaengnim.”



–tidak.


Heerin menatap sebal Joonmyeon yang malah menyetujui permintaan guru matematikanya–ralat, guru matematika mereka itu.

Sementara itu Cho-seonsaeng tersenyum puas. “Bagus! Saya percaya kalau kau bisa melaksanakan tugasmu dengan baik, Kim Joonmyeon-sshi.”

Joonmyeon hanya tersenyum mendengar ucapan guru matematikanya itu. Dengan ini ia jadi punya alasan untuk tambah dekat dengan Heerin.

“Maaf, seonsaengnim. Tapi saya masih bisa dibantu oleh kakak saya,” kata Heerin berusaha mencegah agar semua itu tidak terjadi.

“Tapi kakakmu ‘kan sudah SMA. Kehidupan di SMA itu jauh lebih rumit lagi, Heerin-sshi,” balas Cho-seonsaeng. “Bukannya kau sendiri bilang kalau kau tidak mau merepotkan orang lain?”

Heerin menghela nafasnya. Lain lagi dengan Joonmyeon yang merasa puas.

“Kalau begitu kalian berdua bisa kembali ke kelas kalian,” titah Cho-seonsaaeng. Kedua insan yang dimaksud membungkukkan badan mereka kemudian berjalan keluar dari ruang guru.

Begitu di ruang guru, Heerin menghentikan langkahnya. Ia menoleh kearah Joonmyeon yang berada di belakangnya, ikut menghentikan langkahnya karena tiba-tiba Heerin menghentikan langkahnya. 

Wae?” tanya Joonmyeon (sok) polos. Heerin mendengus.

“Tidak usah memasang raut wajah menggelikan itu,” balas gadis itu. “Sebenarnya apa maumu, sih? Kenapa kau mau saja menerima permintaan Cho-seonsaeng?”

Karena aku ingin menjadikanmu pendamping hidupku, jawab Joonmyeon dalam hati.

Tidak mungkin ia langsung menjawab seperti itu. Bisa-bisa gadis yang ada di hadapannya saat ini makin tidak menyukainya, atau malah membencinya.

“Aku mencoba membantumu, kok,” jawab Joonmyeon.

“Membantuku? Tidak perlu. Aku bisa sendiri, kok,” kata Heerin.

“Kalau seandainya kau tetap tidak bisa juga bagaimana?” tanya Joonmyeon lagi. “Manusia itu makhluk sosial. Bagaimanapun juga mereka pasti akan membutuhkan bantuan dari orang lain.”

“Iya, tapi tidak jika bantuan itu dari orang sepertimu,” balas Heerin lagi dengan tajam. “Sejak dari awal aku melihatmu kau tidak pernah memberikan kesan baik untukku.”

Dahi Joonmyeon mengernyit. “Sejak awal? Maksudmu ketika kau melihatku bermain bersama kakakmu? Bahkan waktu itu kita belum berbicara seperti saat ini,” tuturnya. Sebenarnya ia tahu maksudnya adalah ketika gadis itu menginap di rumahnya.

“Sudah kubilang jangan pasang raut wajah menggelikan itu,” ucap Heerin lagi. “Yang jelas aku tidak mau diajari orang sepertimu. Lebih baik aku belajar sendiri,” Heerin kemudian berbalik dan berjalan menuju kelasnya. Meninggalkan sosok Joonmyeon yang hanya bisa menghela nafasnya.

Tidak. Ia tidak mau menyerah seperti ini. Ia harus bisa mendekati gadis itu, dan ia harus bisa tetap memegang omongan ayahnya tadi malam.

~oOo~

Sorenya, Heerin pulang ke rumah dengan keadaan wajah yang masih kusut. Kejadian ketika di ruang guru pada waktu istirahat tadi masih terngiang di kepalanya. Ia sudah mencoba meminta hiburan dari teman-temannya tadi, tapi entah kenapa tetap saja tidak membantu.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu. Tapi yang jelas, semangat, Heerin-ah,” begitulah pesan dari teman-temannya saat di perjalanan pulang tadi.

Gadis bermarga Shin itu menghela nafasnya. Setelah menaruh sepatunya di rak sepatu yang berada di dekat pintu, gadis itu kemudian berjalan ke kamarnya. Rumahnya tampak begitu sepi. Kedua orangtuanya masih berada di tempat kerja sementara Minseok sedang ada latihan sepak bola di sekolahnya.

Sesampainya di kamar, Heerin menaruh tasnya di atas meja belajar. Kemudian ia merebahkan tubuhnya diatas tempat tidur. Kedua matanya menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan kosong.

Jemari kedua tangannya kini tengah memainkan ujung rambut panjangnya yang masih terkepang dengan setia.

“Kenapa sih harus berakhir seperti ini?” tanya Heerin lebih kepada dirinya sendiri. Ia kemudian mengambil boneka teddy bear yang berada di samping kepalanya. Boneka teddy bear itu ia peluk dengan erat.

Entah kenapa kedua matanya terasa begitu berat. Mencoba untuk menutup sebisa mungkin. Tapi Heerin bukanlah tipikal orang yang hobi tidur siang. Ia berniat ingin bangun dari posisinya.

Namun apa daya. Rasa mengantuk pada dirinya makin membesar, mendorong agar gadis itu segera memejamkan kedua matanya dan mulai memasuki alam mimpinya.

Dan benar saja. Beberapa detik kemudian Heerin pun tertidur dengan pulas.

~oOo~

Kedua mata Heerin perlahan mulai terbuka begitu ia merasakan ada seseorang yang mencoba membangunkannya. Gadis itu dapat merasakan silau dari lampu kamarnya yang menyala dengan terang.

Hal yang pertama ia dapati adalah sosok Minseok yang berada di samping tempat tidurnya.

Uri dongsaeng sudah bangun, ne?” begitulah ucapan yang meluncur dari bibir Minseok. Heerin hanya tersenyum mendengar ucapan kakaknya barusan.


Ia mencoba beranjak dari posisinya saat ini dan kini posisinya berubah menjadi posisi duduk.

“Biasanya sepulang sekolah kau selalu bermain game di komputermu,” komentar Minseok.

“Entahlah, oppa. Aku merasa.....lelah, mungkin?” ujar Heerin. Minseok hanya terkekeh mendengar perkataan adiknya.

“Ah, iya. Appa menyuruhku untuk memanggilmu,” Minseok teringat tujuan utama mengapa ia membangunkan adiknya.

“Eh? Ada apa?” tanya Heerin bingung.

Molla. Tapi yang jelas kau mandi dulu. Badanmu bau keringat,” ledek sang kakak. Heerin langsung memukul lengan Minseok.

“Aish oppa, neo jinjja!” Minseok tertawa puas sebelum ia akhirnya keluar dari kamar adiknya. Sementara itu Heerin langsung pergi ke kamar mandi mengingat sudah sore dan ia harus mandi sore.


10 menit kemudian Heerin sudah selesai mandi dan sudah memakai baju rumahnya seperti biasa; sebuah kaus dan celana pendek selutut. Rambut panjangnya yang biasanya ia kepang dibiarkan digerai untuk saat ini.

Gadis itu kemudian berjalan keluar dari kamarnya menuju lantai bawah rumahnya. Begitu ia sampai di ruang keluarga, ia mendapati ayahnya tengah menonton televisi.

Appa memanggilku?” tanya Heerin. Sang ayah menoleh kearah Heerin yang berdiri di ambang-ambang perbatasan ruang keluarga dengan ruang tamu rumah.

“Duduklah, Heerin-ah,” perintah ayah Heerin dengan raut wajah serta suara yang serius. Heerin menelan ludahnya getir. Biasanya kalau sang ayah sudah seperti ini pasti mau membicarakan hal yang serius.

Heerin pun duduk di sofa yang berseberangan dengan sofa yang diduduki oleh ayahnya. Ayah Heerin mengecilkan volume suara televisi.

“Ayah dengar dari Cho-seonsaeng hasil ulangan matematikamu jelek. Benarkah itu, Heerin-ah?” tanya ayah Heerin persis seperti Cho-seonsaeng menanyainya tadi; pelan namun terdengar mengerikan.

Benar ‘kan? Pasti mau menanyai hal itu, batin Heerin. Ia kemudian mengangguk.

“Kenapa nilaimu bisa jelek seperti itu? Dan ayah dengar kalau nilaimu paling rendah satu kelas,” ujar ayah Heerin.

“Eumm.....i-itu, mungkin karena......a-aku tidak bisa berdamai dengan matematika.......” jawab Heerin terbata-bata.

“Ayah sudah mendengar semuanya dari Cho-seonsaeng,” kata ayah Heerin. Membuat Heerin membatu sejenak di tempatnya.

“M-maksudnya......??” tanya Heerin. Jangan sampai dia tahu masalah yang tadi, harapnya dalam hati.

“Jadi Cho-seonsaeng bilang kepada appa kalau ia meminta tolong pada–“

Tiba-tiba terdengar bel pintu yang berbunyi. Heerin langsung beranjak dari tempat duduknya begitu ibunya yang tengah berada di dapur menyuruhnya untuk membukakan pintu.

Gadis itu merasa lega karena akhirnya ada pengalihan topik juga. Dengan santainya Heerin membukakan pintu untuk tamu yang membunyikan bel itu....


.....sebelum akhirnya ia kembali menutup pintu begitu mengetahui siapa yang datang.


“Heerin-ah,” terdengar suara ayahnya dari ruang keluarga.

N-ne, appa?”

“Tadi itu Joonmyeon, ‘kan? Bukakan pintu untuknya,” perintah sang ayah. Heerin hanya bisa menghela nafasnya sejenak sebelum akhirnya ia kembali membukakan pintu.

Begitu pintu terbuka, yang ia dapati adalah sosok Kim Joonmyeon yang tengah terdiam di tempatnya berdiri–mungkin masih shock karena tiba-tiba pintu kediaman keluarga Kim dibanting tepat di depan mukanya.

Heerin memutar kedua bola matanya sebelum ia berkata, “Kau beruntung karena aku disuruh ayahku.” Ia pun mempersilahkan Joonmyeon untuk masuk.

Joonmyeon sendiri mencoba untuk tersenyum kepada Heerin sebisa mungkin, tanpa menyadari kalau gadis itu agak terperangah melihat senyum Joonmyeon barusan.

Formalitas yang sangat baik, komentar Heerin dalam hati. Ah, andaikan ia tahu kalau senyum itu bukan sekedar formalitas saja.....

“Eoh? Ada Joonmyeon?” terdengar suara Minseok yang baru saja dari dapur. Ia berniat untuk memanggil ayah dan adiknya karena makan malam sudah matang.
“Lama tak jumpa, hyung,” Joonmyeon menyapa Minseok dengan akrabnya. Pemuda itu langsung berjalan mendekati Minseok, meninggalkan Heerin yang kembali memutar kedua bola matanya melihat pemandangan seperti itu. Tidak lupa gadis itu menutup pintunya kembali.

“Kehidupan SMA merepotkan sekali. Ah iya, bagaimana keadaan tim sepak bola di sekolah?” tanya Minseok.

“Tenang saja. Luhan bisa mengurusnya dengan baik, hyung,” jawab Joonmyeon.

Sementara Heerin hanya bisa menatap kedekatan kedua pemuda itu dalam diam. Ia heran, kenapa Joonmyeon bisa sedekat itu dengan Minseok sementara dengan dirinya sendiri tidak?

Karena menurutku Kim Joonmyeon itu menyebalkan. Makanya aku tidak mau dekat dengannya, batin Heerin.

“Joonmyeon-ah! Kau datang rupanya!” kali ini ibu Heerin yang menyambut kedatangan Joonmyeon. Pemuda bermarga Kim itu membungkukkan badannya kepada nyonya Shin.

Annyeong haseyo, imonim. Bagaimana perjalanannya di Vietnam kemarin?” tanya Joonmyeon dengan ramah.

“Begitulah. Sangat menyenangkan. Hanya saja karena kami kesana dengan tujuan bisnis jadi tidak sempat jalan-jalan disana,” jawab ibu Heerin.

Heerin sendiri mendengus kesal. “Dasar penjilat,” gumamnya sangat pelan.

Tetapi Joonmyeon dapat mendengarnya. Terbukti ketika pemuda itu melirik Heerin dengan tatapan tak pasti. Heerin sendiri? Ia membalas tatapan pemuda itu dengan tatapan ‘Kenapa? Ada masalah?’.

“Kau ikut makan malam dengan kami, ne?” tawar ayah Heerin yang dalam sekejap sudah berdiri di samping Joonmyeon.

“Eh? Apa tidak apa-apa, ajussi?” tanya Joonmyeon merasa tidak enak.

“Tentu saja tidak apa-apa! Heerin-ah! Kau juga, kenapa kau masih berdiri di depan pintu seperti itu?” tanya ayah Heerin begitu menyadari putri bungsunya masih berdiri di dekat pintu.

Ne, arasseo,”  jawab Heerin dengan malas-malasan. Ia pun berjalan menuju ruang makan.

Sebenarnya anak bungsu di rumah ini dia atau aku, sih?

~oOo~

“Jadi kapan kau mulai bisa membantu Heerin dalam pelajaran matematikanya?” tanya ayah Heerin begitu ia sudah menghabiskan makan malamnya.

“Selama masih di semester ganjil sih aku tidak apa-apa,” jawab Joonmyeon yang masih setia dengan nada ramahnya.

“Bagaimana kalau malam ini saja?” celetuk ibu Heerin. Spontan, Heerin yang masih menyantap makanannya langsung tersedak. Joonmyeon yang kebetulan duduk di sampingnya langsung memberikan segelas air putih untuk Heerin.

Heerin sempat ragu untuk menerimanya atau tidak sebelum akhirnya ia langsung mengambil gelas itu dan meminum isinya.

Tentunya tanpa mengucapkan terima kasih.

“Heerin-ah, kalau kau diberi segelas air putih ketika kau tersedak seperti itu maka kau harus mengucapkan apa?” tanya ibu Heerin yang langsung menyadari hal itu begitu Heerin sudah meninum air putihnya.

Kembali Heerin sempat ragu-ragu, apa ia harus mengucapkannya atau tidak. Tapi daripada kena omelan ibunya lebih baik ia mengatakannya.

Kamsahamnida.....” kata Heerin dengan suara yang sangat pelan.

“Suaramu pelan sekali,” komentar ibu Heerin sembari menggelengkan kepalanya.

“Tapi ‘kan aku sudah mengucapkannya, eomma,” balas Heerin merasa tidak terima.

“Paling tidak kau bisa mengucapkannya dengan suara yang lebih kencang lagi. Dan kau harus mengatakannya tidak se-formal itu. Katakan ‘Gomapta, Joonmyeon-oppa’,” Heerin melongo mendengar perkataan ibunya barusan.

Gila. Apa ia harus memanggil orang itu dengan panggilan oppa?

“Ulangi lagi,” perintah ibunya.

“Dia sunbae-ku di sekolah. Jadi aku harusnya memanggilnya sunbaenim, bukan oppa,” ujar Heerin.

“Disini bukan di sekolah, jadi kau bisa memanggilnya ‘oppa’ semaumu. Bagaimanapun juga dia itu temanmu, bukan sekedar seniormu di sekolah. Ayo, ulangi lagi. Katakan seperti yang eomma ucapkan tadi,” perintah ibunya lagi.

Bibir bawah Heerin memaju ke depan karena kesal, tanpa tahu kalau sosok di sampingnya kini gemas melihatnya seperti itu.

Heerin menatap Joonmyeon dengan tatapan sebal sebelum akhirnya ia berkata, “Gomapta, Joonmyeon.....oppa.....”

Oh, Tuhan. Rasanya Joonmyeon begitu senang tatkala ia mendengar Heerin memanggilnya ‘oppa’. Andaikan gadis itu mau memanggilnya dengan panggilan ‘oppa’ tidak hanya untuk saat ini tapi juga untuk seterusnya.

“Ah iya, tidak apa-apa kok,” kata Joonmyeon sembari menyunggingkan senyum malaikat yang sudah menjadi trademark-nya.

Kembali Heerin terperangah melihat senyum Joonmyeon. 

Senyumnya menawan juga ya....eh tunggu! Aku ini berpikir apa, sih?! Gadis itu langsung menepis pikiran aneh tadi dari benaknya.

“Ehem, maaf mengganggu,” ayah Heerin berdehem, mencoba mengalihkan situasi. Heerin melirik kearah ayahnya. Mengganggu apanya coba, pikirnya.

“Jadi, Joonmyeon-ah. Kalau kau mau, bisakah kau mengajari Heerin mulai dari hari ini?” tanya ayah Heerin yang melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti tadi.

Mwo?! Hari ini?!” tanya Heerin dan Joonmyeon (yang lagi-lagi) serempak. Minseok tertawa pelan melihat kekompakkan mereka berdua.
Kenapa sih orang ini senang sekali mengikuti bicaraku? batin Heerin kesal sembari melirik Joonmyeon.

Ne. Hari ini. Cho-seonsaeng meminta agar Heerin bisa memperdalam pengetahuannya tentang matematika secepat mungkin. Sebentar lagi ujian tengah semester akan diadakan,” jawab ayah Heerin.

“Aish, appa.....Apa harus hari ini? Ini ‘kan sudah malam,” protes Heerin.

“Memangnya kenapa? Rumah Joonmyeon ‘kan ada di sebelah rumah kita. Jadi dia bisa pulang kapan saja. Toh dia sudah izin dengan orang tuanya,” Heerin hanya bisa mendengus mendengar perkataan ayahnya barusan. Dia lupa kalau ia bertetangga dengan Joonmyeon.

“Jadi, Joonmyeon-ah. Kau tidak apa-apa, ‘kan?” tanya ayah Heerin lagi. Yang ditanya menyunggingkan senyum ramahnya.

Ani. Tidak apa-apa, kok, ahjussi,” jawabnya sopan. Untuk kesekian kalinya Heerin hanya bisa memutar kedua bola matanya kesal. Pada akhirnya ia pun kalah dalam peperangan.

~oOo~

“Jadi intinya semua persamaan di aljabar itu harus sama dengan nol,” Joonmyeon mengakhiri penjelasannya mengenai teori aljabar.

“Kau mengerti, Heerin-ah?” tanya Joonmyeon sembari menolehkan kepalanya ke arah Heerin yang duduk disebelahnya. Dan ternyata gadis itu malah asyik menggambar di sketch book-nya.
Joonmyeon pun berdehem dan sukses mengagetkan gadis itu dari dunia menggambarnya.

Kkamjjakiya,” gumam Heerin sembari mengelus dadanya perlahan karena kaget. Sementara Joonmyeon hanya menatap tajam gadis yang berstatuskan tetangganya itu.

“Kau tadi memerhatikan, tidak?” tanya Joonmyeon. Untuk ketiga kalinya Heerin mendengar seseorang bertanya kepadanya dengan suara yang pelan namun terdengar mengerikan. Pertama, Cho-seonsaeng. Kedua, ayahnya. Dan sekarang.....manusia menyebalkan ini.

“T-tentu saja,” jawab Heerin agak gugup.

“Kalau begitu bisakah kau mengulang kalimat terakhir yang kujelaskan tadi, Heerin?” tanya Joonmyeon lagi dengan horror. Heerin menelan ludahnya getir.

Aish aku tidak memerhatikan daritadi. Bagaimana ini? pikirnya panik.

“Ermm.....i-itu, aku.....uh.....nan mollaseo,” jawab Heerin pada akhirnya. Joonmyeon menghela nafasnya sejenak sebelum ia langsung mengambil sketch book milik Heerin dengan cepat.

YA! KEMBALIKAN SKETCH BOOK-KU! APA-APAAN KAU INI?!” omel Heerin sembari berusaha meraih-raih sketch book-nya yang berada di genggaman tangan Joonmyeon. Namun Joonmyeon makin menjauhkan sketch book itu dari jangkauan sang pemilik.

“KUBILANG KEMBALIKAN–“ tanpa sengaja sikut Heerin menyenggol segelas jus yang berada di atas meja belajar Heerin. Jus itu tumpah dan mengenai jaket hoodie berwarna abu-abu milik Joonmyeon.

Baik Joonmyeon maupun Heerin terdiam begitu jus itu membasahi jaket Joonmyeon. Dan yang pertama bereaksi adalah.....

“A-aku minta maaf.....aku tidak sengaja.....” ucap Heerin terbata-bata. Lain Heerin, lain pula Joonmyeon. Pemuda itu hanya menatap Heerin datar.

“Kau pikir hal seperti ini tidak apa-apa? Sudah berteriak-teriak, menumpahi jaketku dengan jus,” balas Joonmyeon dengan nada dingin. Seketika Heerin merasa tidak enak karenanya.

“A-aku ‘kan tidak bermaksu–“

“Mungkin kau terlalu kelelahan hari ini. Kita lanjutkan besok saja,” Joonmyeon memotong ucapan Heerin. Dengan ‘santainya’ Joonmyeon melempar sketch book milik Heerin ke atas meja belajar. Ia mengambil tasnya dan kemudian berjalan keluar dari kamar Heerin, meninggalkan sang pemilik kamar yang terdiam di tempatnya dalam keadaan merasa bersalah.

Sepertinya aku sudah keterlaluan. Aku harus minta maaf padanya besok, batin Heerin.

~oOo~

Heerin sengaja datang ke sekolah lebih pagi dari biasanya demi menemui Joonmyeon. Tujuannya? Tentu saja ingin meminta maaf karena kejadian tadi malam. Ia tahu kalau biasanya Joonmyeon berangkat ke sekolah lebih pagi dari dirinya.

Selain alasan diatas juga karena pasti suasana sekolah masih sepi. Ia tidak mau dibunuh oleh penggemarnya Joonmyeon karena mencari-cari pemuda itu. Apalagi Heerin sendiri masih kelas satu.

Dengan hati-hati gadis itu berjalan mendekati ruang kelas 3-3. Heerin sempat mengintip keadaan kelas itu dari balik pintu. Keadaan kelas begitu sepi. Hanya ada sekitar 5 orang yang ada di ruang kelas 3-3.

Salah satu diantara mereka adalah Joonmyeon, yang tengah mengajari seorang temannya–yang merupakan seorang perempuan, tapi ia terlihat meminta diajari oleh Joonmyeon bukan karena ingin melihat ketampanan pemuda itu dari dekat.

Heerin hanya menatap pemandangan itu dalam diam. Entah kenapa sesuatu dalam dirinya bergejolak begitu melihat pemandangan seperti itu.

Ia merasa...........kesal?

Gadis bermarga Shin itu tidak menyadari sosok Luhan yang tengah berjalan ke kelasnya sembari bersiul-siul dengan santai. Langkah pemuda itu terhenti itu begitu ia melihat seseorang tengah mengintip dari luar pintu kelasnya.

Mwo? Bukannya itu......adiknya Minseok-hyung?” gumam Luhan. Ia berjalan menghampiri Heerin yang masih setia di posisinya.

Joesonghabnida, tapi kau mencari siapa?” tanya Luhan dengan ramah. Heerin tersentak mendengar sebuah suara menanyainya. Ia langsung menoleh kearah sumber suara, lalu menghela nafasnya lega begitu tahu kalau yang menanyainya adalah manusia–tepatnya siswa kelas 3-3.

Tapi kenapa bisa ada laki-laki secantik dia? Begitulah menurut Heerin ketika ia melihat pemuda yang berada di hadapannya ini.

“Eumm.....aku ingin menemui.....J-Joonmyeon....sunbaenim......” jawab Heerin terbata-bata. Kenapa akhir-akhir ini ia selalu berbicara dengan terbata-bata, pikirnya heran.

Luhan mengangukkan kepalanya mengerti. “Joonmyeon, ya? Aku panggilkan dulu, ne?”

Heerin membungkukkan badannya–tanda terima kasih. “Kamsahamnida, sunbaenim,” katanya. Sementara Luhan menatap gadis itu agak heran.

Yang seperti ini dingin darimananya? Dia tampak baik-baik saja menurutku, batin Luhan. Ia kemudian berjalan masuk ke dalam kelasnya, menuju bangkunya yang berada di sebelah bangku Joonmyeon.

“Hoi, Einstein,” panggil Luhan sembari menaruh tasnya diatas meja. Joonmyeon langsung menghentikan kegiatannya; mengajari Sungchan.

Mwohae?” tanya Joonmyeon.

“Ada yang mencarimu, tuh,” jawab Luhan santai sembari menunjuk daun pintu. Joonmyeon pun melihat ke arah yang dimaksud.

Betapa terkejutnya Joonmyeon begitu ia mendapati sosok Heerin yang tengah menyembunyikan tubuhnya di balik pintu. Lucu sekali, pikir Joonmyeon.

Sebenarnya Joonmyeon sama sekali tidak marah dengan Heerin karena kejadian tadi malam. Ia hanya ingin menguji gadis itu, apa gadis itu benar-benar tidak menyukainya atau apa.

Tapi ia benar-benar tidak menyangka kalau pada akhirnya Heerin menghampirinya ke kelas.

“Eoh? Nuguji?” tanya Sungchan yang juga mendapati sosok Heerin di depan kelasnya.

Luhan mendekatkan wajahnya ke telinga Sungchan, lalu berbisik, “Calon pendamping hidupnya Joonmyeon.”

Sungchan tersentak begitu menyadari jarak wajah Luhan yang terlalu dekat dengan wajahnya. Refleks, gadis berkacamata itu langsung menjauhkan wajahnya dari wajah Luhan.

“Aish.....apa-apaan sih kau ini,” gerutu Sungchan walau sebenarnya ia salah tingkah karena hal yang tadi.

Sementara itu Joonmyeon beranjak dari tempat duduknya dengan perasaan bahagia, namun ia memasang raut wajah yang datar. Bagaimanapun juga ia harus terlihat meyakinkan kalau ia marah, bukan?

“Ada apa kau kemari?” tanya Joonmyeon singkat dan terdengar dingin begitu ia sudah berada di ambang pintu kelasnya. Kedua matanya menatap tajam Heerin.

Heerin sendiri kaget karena tidak menyangka kalau tetangganya ternyata sudah kehabisan kesabaran dengannya. Ia terlihat benar-benar marah, begitulah menurut Heerin.

Spontan gadis berambut panjang itu langsung membungkukkan badannya. “Mianhaeyosunbaenim.Akutidakbermaksudketerlaluanpadamusungguh.Dansoalyangkemarinituakutidaksengaha,” ucap Heerin dengan sangat cepat. Sampai-sampai Joonmyeon dibuat melongo karenanya.

Ya ampun. Kenapa dia ini lucu sekali, sih? pikir Joonmyeon sembari menahan senyumnya mati-matian.

“Aish. Kalau berbicara itu bicaralah dengan jelas,” kata Joonmyeon singkat, padat, dan menyakitkan. Cukup membuat Heerin tersentak karenanya.

Mianhae....karena selama ini aku sudah keterlaluan padamu.....padahal kita belum kenal lama, tapi aku sudah sejahat itu padamu......” ujar Heerin pada akhirnya. “Dan soal yang tadi malam, aku tidak sengaja. Sungguh.....”

Melihat wajah Heerin yang terlihat seolah gadis itu sudah mau menangis membuat Joonmyeon seketika merasa bersalah. Raut wajah serta tatapan kedua matanya pun melembut.

“Dan aku berjanji kalau aku akan belajar dengan sungguh-sungguh. Aku akan mendengarkan perkataanmu mulai dari sekarang, sunbaenim,” ucap Heerin dengan pasti.

Astaga. Tak sadarkah ia kalau saat ini Joonmyeon tengah menahan tawanya mati-matian karena.....yah, rencananya berhasil?

“Baiklah. Aku akan mengajarimu lagi. Asal dengan satu syarat. Jangan pernah menggambar lagi kalau aku sedang mengajarimu, arachi? Kalau aku masih menangkapmu menggambar disaat aku mengajarimu maka sketch book-mu akan kusita. Kau paham?” ancam Joonmyeon–sebenarnya ancamannya itu hanyalah wacana belaka. Tapi demi kesuksesan rencananya, ya kenapa tidak?

Heerin menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Ne, algesseumnida.”

“Kau harus memahami matematika dengan baik. Kau tahu sendiri ‘kan akhir-akhir ini kau menjadi incaran Cho-seonsaeng dalam masalah nilai? Aku merasa kasihan denganmu,” tutur Joonmyeon. Kembali Heerin hanya bisa mengangukkan kepalanya.

“Makanya itu mulai sekarang aku akan belajar dengan sungguh-sungguh, sunbaenim,” kata Heerin.

Sebuah senyum tulus terukir pada wajah Joonmyeon begitu ia mendengar ucapan Heerin barusan. Tangan kanannya mengacak pelan rambut Heerin. “Itu baru adiknya Minseok-hyung,” pujinya.

Sementara Heerin sendiri terperangah karena diperlakukan seperti itu. Pemuda ini memperlakukannya persis ketika Minseok memperlakukannya layaknya perlakuan seorang kakak yang baik terhadap adiknya.

Kamsahamnida, sunbaenim. Kalau begitu aku kembali ke kelas dulu, ne?” pamit Heerin.

“Belajar dengan baik,” pesan Joonmyeon sebelum gadis itu kembali ke kelasnya.

Mendengar perkataan Joonmyeon membuat Heerin tersenyum kepada pemuda bermarga Kim itu. “Kau terdengar seperti kakakku saja, sunbaenim,” gumamnya sebelum ia berjalan kembali ke kelas.

Meninggalkan sosok Joonmyeon yang membatu di tempatnya berdiri sekarang.

Ia tidak salah melihat, ‘kan? Heerin.....Shin Heerin, yang terkenal dingin itu.....tersenyum kepadanya?

Joonmyeon jadi tersenyum sendiri karenanya. Mungkin dia punya kesempatan untuk bisa dekat dengan gadis itu.

~oOo~

0 comments:

Post a Comment

 
;