Title: The Beginning
Chapter: 7/?
Genre: Romance, Comedy, School-life
Rate: PG-12
Disclaimer: Plot belongs to me yet inspirated from my friend's fic (you can check it in here. The title of the fic is 'Between You and Me').
Cast:
-EXO members
-Original Characters
Summary: Pertemuan pertama pasangan yang kalian kira manis awalnya tidak semanis yang kalian kira.
Author Notes:
HUAHAHAHAHAHA AKHIRNYA UPDATE JUGA~ karena saya pernah mendapat protes (?) saya memutuskan untuk memanjangkan chapternya jadi 5000an words wkwk. Maaf kalau tidak memuaskan, habisnya otak saya agak nge-blank nih wkwk
Pokoke hepi reading ya~ ^^
~oOo~
Karena penasaran pemuda keturunan Cina itu berjalan menghampiri gadis yang (akhirnya) menjadi teman sekelasnya itu.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Tao hati-hati begitu ia sudah berada di dekat meja Hyunra. Yang ditanya menoleh ke arah Tao–tanpa tahu kalau Tao sempat tersentak melihat wajah menggemaskan itu kini tengah menatapnya.
“Ah, kau mengagetkanku, Tao. Aku sedang menulis,” jawab Hyunra.
“Eh? Menulis apa?” tanya Tao sembari melihat apa yang ditulis Hyunra.
“Menulis cerita,” Hyunra menjawab sambil tersenyum–kegiatan menulis cerita sudah menjadi kesenangannya tersendiri. Kembali Tao terperangah melihat senyum Hyunra yang mengalihkannya dari realita.
“Wah, kau menulis cerita? Keren sekali,” Tao berdecak kagum. Mendengar itu membuat Hyunra tersenyum.
“Tidak juga. Aku lebih sering menulis cerita tentang percintaan,” ucap Hyunra yang diakhiri helaan nafasnya, tanpa tahu kalau Tao tersenyum mendengar ucapannya barusan.
Andaikan ia tahu kalau Tao ingin menjadi tokoh utama dalam cerita buatannya.....
“Ah, iya!” tiba-tiba Hyunra teringat sesuatu. Ia kembali menoleh ke arah Tao–yang masih berdiri di samping bangkunya dengan setia. Kembali Tao hanya bisa tersentak karenanya.
“Kau sudah hafal tempat-tempat di sekolah ini, belum?” tanya Hyunra. Tao menggelengkan kepalanya. Harusnya tadi ia ditemani Joonmyeon mengelilingi sekolah barunya ini, tetapi karena jam pertama di kelas saudara jauhnya itu adalah pelajaran sejarah–dan ia ada ulangan. Jadinya Tao tidak sempat mengelilingi sekolah barunya itu.
Tiba-tiba Hyunra menaruh pensilnya ke dalam kotak pensilnya dan menutup buku yang tadi ia pakai untuk menulis cerita. Gadis itu beranjak dari tempat duduknya.
“Ayo sini. Kuajak kau keliling-keliling sekolah barumu,” ajak Hyunra. “Bagaimanapun juga kau sudah menjadi bagian dari Jeguk Middle School,” tambah gadis itu sebelum menarik tangan Tao.
Lagi, tanpa gadis itu sadari, wajah Tao merona hebat begitu tahu kalau Hyunra tengah menyeretnya–mengajaknya berkeliling di sekolah ini. Mereka berdua pun kemudian berjalan keluar dari kelas mereka.
~oOo~
“Kalau yang ini ruangan
laboratorium biologi. Kau tahu sendiri ‘kan biasanya kita melakukan apa di
dalam laboratorium biologi?” tanya Hyunra sembari menunjuk laboratorium
biologi. Tao hanya terkekeh mendengar pertanyaan Hyunra barusan.
“Tentu saja aku tahu, Hyunra-sshi,”
jawab Tao. Hyunra menggembungkan pipinya.
“Kita ‘kan sudah kenal dan dekat.
Kenapa masih memanggilku dengan embel-embel ‘-sshi’?” gerutu gadis
bermarga Park itu.
Tao terkekeh pelan. “Memangnya aku
harus memanggilmu dengan panggilan apa?”
“Terserah kau sih,” jawab Hyunra
seadanya. Membuat Tao tampak berpikir sejenak.
“Bagaimana kalau aku memanggilmu
‘Hyunnie’?” tanya Tao, namun pemuda itu kemudian membekap mulutnya dengan kedua
tangannya.
Kenapa harus panggilan seperti itu sih? rutuknya dalam hati.
Hyunra sempat terkejut
mendengarnya. Tetapi tak lama gadis itu tersenyum.
“Boleh saja. Terkadang
teman-temanku juga memanggilku ‘Hyunnie’,” jawab gadis itu.
Tao menghela nafasnya lega. Ia
merasa senang karena sudah dianggap dekat oleh Hyunra. Tampaknya pintu menuju hati
seorang Park Hyunra perlahan mulai terbuka.
Mereka berdua pun melanjutkan
perjalanan mereka sampai akhirnya kedua mata Hyunra menangkap sesuatu dari
kejauhan.
“Eoh? Bukankah itu Jongdae?” gumam
Hyunra, kedua kakinya berhenti melangkah. Dapat tertangkap olehnya kalau pemuda
itu terlihat kesal entah karena apa.
“Ya! Jongdae!” Hyunra
mencoba memanggilnya. Tetapi pemuda itu tampak tak bergeming–walau ia menyadari
kalau Hyunra memanggilnya. Jongdae justru berjalan melewati Hyunra dan Tao
begitu saja, meninggalkan baik Hyunra maupun Tao yang menatap heran ke arahnya.
“Bocah itu kenapa sih,” gumam
Hyunra. “Tidak biasanya dia seperti itu.”
“Ah jinjja?” tanya Tao.
Maklum, ia masih belum begitu tahu tentang Jongdae.
Hyunra menganggukkan kepalanya. “Ne.
Biasanya dia selalu nyengir setiap saat. Tapi tumben sekali ia terlihat seperti
orang PMS begitu,” jelas Hyunra. Kembali Tao hanya bisa terkekeh mendengarnya.
“Kau lucu sekali,” puji Tao.
Mendengar itu membuat pipi Hyunra sedikit bersemu.
“Ah iya! Mari kita lanjutkan lagi
kegiatan tour Jeguk Middle School yang sempat terhenti tadi!” seru
Hyunra lagi dan lagi-lagi Tao hanya bisa terkekeh karenanya.
~oOo~
-Sementara itu, di kelas 3-3...-
Joonmyeon tengah mendengarkan lagu
dari iPod-nya. Tidak mengerjakan latihan soal seperti biasanya. Sementara itu
Luhan yang baru saja kembali dari kantin langsung mendudukkan tubuhnya di atas
bangkunya.
“Hei,” Luhan memanggil Joonmyeon.
Karena tahu pemuda itu tidak akan mendengarnya begitu saja, dengan lembutnya
pemuda Cina itu memukul pelan bahu Joonmyeon.
Merasa dipanggil, Joonmyeon
melepas salah satu headset-nya lalu menoleh ke arah Luhan yang sudah
duduk di sampingnya.
“Mwohae?” tanya Joonmyeon.
Sementara yang ditanya malah menyunggingkan senyum misterius.
“Kau tidak berangkat ke sekolah
bersama adiknya Minseok-hyung lagi,” jawab Luhan dengan suara yang
pelan. Mendengar itu dahi Joonmyeon mengernyit. Sebenarnya Luhan ini stalker-nya
atau apa, sih?
“Lalu?” Joonmyeon bertanya lagi.
“Tampaknya kau tidak secerah waktu
itu, ketika kau berangkat ke sekolah bersamanya,” jawab Luhan sekenanya.
Joonmyeon melirik teman sebangkunya itu.
“Maksudmu?”
“Aish....kau senang sekali sih
bertanya dengan satu kata,” gerutu Luhan. “Ayolah, Joonmyeon. Perbedaannya
kontras sekali ketika kau pergi ke sekolah bersama adiknya Minseok-hyung
sama ketika kau pergi ke sekolah tidak bersamanya melainkan dengan pemuda
lain.”
“Pemuda itu saudara jauhku dari
Cina,” ujar Joonmyeon.
“Cina? Jinjja? Ah iya aku
lupa kalau ayahmu ada darah Cina,” kata Luhan. “Lalu, bagaimana
perkembangannya?”
“Perkembangan apanya, sih?”
Joonmyeon bertanya balik. Tampaknya ia mulai kehabisan kesabaran.
Dengan baiknya Luhan memukul
kepala teman sebangkunya itu. “Kau ini.....padahal IQ-mu hampir menyamai
Einstein tapi kenapa kau jadi bodoh begini sih?” omel Luhan. “Ternyata cinta
itu bisa membuat orang menjadi tambah bodoh, ya.”
“Hei apa maksudmu, rusa?” tanya
Joonmyeon kesal sembari mengelus kepalanya.
Sementara yang dimaksud ‘rusa’
memutar kedua bola matanya kesal. “Kukira kau sedang pendekatan dengan adik
dari mantan kapten tim bola sekolah kita,” jawabnya dengan nada agak menyindir.
Mendengar kalimat yang diucapkan
Luhan barusan membuat kedua pipi Joonmyeon agak merona. “Pendekatan
darimananya? Susah didekati begitu,” gumam Joonmyeon pelan. Namun masih
terdengar dalam indera pendengaran Luhan.
“Kau terdengar seperti sudah putus
asa begitu,” ledek Luhan. Joonmyeon menatap teman sebangkunya sengit.
“Ayolah, Joonmyeon. Terlihat jelas
kok kalau kau memerhatikan gadis itu secara khusus, tidak seperti kau melihat
gadis-gadis yang lain pada umumnya,” ujar Luhan.
“Kau ini stalker-ku atau
bagaimana?” Luhan hanya tertawa pelan mendengar gerutuan Joonmyeon barusan.
“Joonmyeon-sshi,” tiba-tiba
terdengar suara seseorang yang memanggil nama Joonmyeon dari bangku depan. Yang
dipanggil langsung menoleh.
“Oh. Waeyo, Sungchan-sshi?”
tanya Joonmyeon begitu tahu kalau yang memanggilnya adalah Han Sungchan.
Sungchan termasuk gadis yang normal-normal saja alias bukan tipikal yang suka
‘sok kenal sok dekat’ dengannya. Makanya Joonmyeon masih merasa tenang-tenang
saja kalau ada Sungchan.
Walau tidak setenang ketika bersama orang
itu, sih.
“Kau disuruh mengumpulkan tugas
matematika yang tadi ke ruang guru,” jawab Sungchan sembari menyerahkan
setumpuk kertas berisikan tugas soal matematika. Dengan hati-hati Joonmyeon
menerima tumpukan kertas-kertas tugas itu.
“Wah pasti jadi ketua kelas itu
merepotkan sekali, ya,” sindir Luhan. Kembali Joonmyeon menatap sengit pemuda
Cina itu.
“Lebih baik kau diam saja, wakil
ketua kelas,” balas Joonmyeon.
“Kalian ini aneh, ya. Berteman
dekat tapi sering bertengkar seperti ini,” komentar Sungchan yang sudah
terbiasa dengan pemandangan persahabatan yang unik itu.
Luhan menoleh ke arah Sungchan,
sebuah senyum terukir di wajah manisnya. “Beginilah cara kami menunjukkan rasa
peduli kami, Sungchan-ah.”
Joonmyeon dapat menangkap guratan
merah pada pipi Sungchan. Pemuda bermarga Kim itu menahan tawanya. Ia tahu
betul kalau Sungchan memendam perasaan pada Luhan. Mungkin orang lain bahkan
Luhan tidak tahu karena memang tidak begitu terlihat. Tapi Joonmyeon yakin
kalau Sungchan suka pada Luhan.
“Oh iya, Joonmyeon-ah.
Kertasku sudah disitu, ya,” Luhan mengingatkan Joonmyeon.
“Ne, arasseo, tuan
rusa,” balas Joonmyeon sembari memutar kedua bola matanya. Ia pun kemudian
berjalan menuju ke ruang guru dengan setumpuk kertas tugas di tangan.
~oOo~
-Ruang guru Jeguk Middle
School....-
Tampak guru matematika yang mengajar
di Jeguk Middle School, yaitu Cho-seonsaeng, tengah menatap sebuah
kertas yang diyakini sebagai lembar jawaban ulangan. Kemudian ia menoleh kearah
seorang siswi yang tengah berdiri di samping kursi yang tengah didudukinya.
“Shin Heerin,” suara Cho-seonsaeng
terdengar agak horror bagi kedua telinga siswi itu–yang ternyata adalah Heerin.
“N-ne, seonsaengnim?”
“Kudengar dari wali kelasmu Yoo-seonsaeng
kalau kau itu termasuk murid yang rajin, tapi.....” Cho-seonsaeng
menaruh lembar jawaban ulangan milik Heerin ke atas meja kerjanya.
“Bisakah kau menjelaskan kenapa
hasil ulanganmu menjadi yang terendah di kelas?” tanya Cho-seonsaeng
pelan tapi mengerikan. Heerin menelan ludahnya getir. Guru matematikanya yang
satu ini memang killer, makanya Heerin agak takut padanya.
“Errr, itu–“
“–apa pelajaran saya tidak
menyenangkan bagimu?” tanya Cho-seonsaeng lagi. Spontan Heerin langsung
menggelengkan kepalanya.
Sebenarnya penjelasan Cho-seonsaeng
itu sangat bisa dimengerti. Hanya saja....dari dulu Heerin memang tidak pernah
tertarik dengan hitung-hitungan.
Terbukti ketika tiap pelajaran
matematika, bukannya memperhatikan materi yang diterangkan ia malah asyik
menggambar di bagian belakang buku tulisnya. Tentunya pakai pensil agar bisa
dihapus dengan mudah.
“Kalau begitu?” tanya Cho-seonsaeng
lagi. Heerin tampak memikirkan jawaban yang menurutnya tepat.
“Saya merasa tidak pernah bisa
berdamai dengan matematika, seonsaeng,” jawab Heerin sekenanya. Yah,
jawabannya itu ada benarnya juga, sih.
Cho-seonsaeng hanya bisa
menghela nafasnya. “Padahal kau berteman
dekat dengan Hyunra dan Seungwoo yang notabene 2 besar di kelas. Dan saya yakin
kalau kau sebenarnya bisa melebihi mereka....”
Kalau melebihi mereka dalam hal bermain
game sih, iya, batin gadis bermarga Shin itu. Ia
tidak merasa kalau dirinya dapat melebihi kecerdasan otak teman-temannya itu.
“Memangnya kau tidak pernah minta
diajari oleh mereka?” tanya Cho-seonsaeng. Untung saja guru killer
yang satu itu akan menjadi baik kalau di luar jam pelajaran.
“Ah itu.....saya tidak mau
membebani mereka. Apalagi rumah mereka cukup jauh dari rumah saya,” jawab gadis
bermarga Shin itu agak tegas.
“Ah geurae?” Heerin
menganggukkan kepalanya. Ia menyadari kalau Cho-seonsaeng tidak
menatapnya saat ini, melainkan tengah menatap sesuatu yang ada di belakangnya.
Gadis itu langsung menoleh ke arah belakangnya.
Ia hampir saja tersentak begitu
mendapati sosok Joonmyeon berdiri di belakangnya dengan setumpuk kertas di
tangan. Mengetahui maksud pemuda itu, Heerin memberikan jalan agar pemuda itu
lewat.
Sementara Joonmyeon sendiri tidak
menyangka kalau ia akan bertemu dengan orang yang sedari tadi Luhan bicarakan
di kelas sebelum ia ke ruang guru untuk mengumpulkan tugas.
“Ini, seonsaengnim. Saya
ingin mengumpulkan tugas yang Anda suruh kami kerjakan tadi,” kata Joonmyeon
sopan sembari meletakkan tumpukan kertas tugas matematika diatas meja Cho-seonsaeng.
Cho-seonsaeng tengah
menatap Joonmyeon lalu kemudian menatap Heerin secara bergantian.
“Joonmyeon-sshi,” panggil
Cho-seonsaeng pada akhirnya.
“Ne, seonsaeng?”
tanya Joonmyeon. Cho-seonsaeng kembali menatap Joonmyeon dan Heerin
bergantian.
“Kalian berdua bertetangga, ‘kan?”
tanya Cho-seonsaeng. Joonmyeon menganggukkan kepalanya sementara itu
Heerin kaget mendengar pertanyaan gurunya barusan.
Firasatku tidak enak, batin gadis itu.
“Memangnya ada apa, seonsaengnim?”
“Begini. Tetanggamu yang satu ini
memiliki permasalahan dengan nilai matematikanya,” terang Cho-seonsaeng.
Joonmyeon menoleh kearah Heerin, yang kemudian disambut dengan tatapan ‘apa kau
lihat-lihat?’ dari gadis itu sendiri.
“Dan kau termasuk siswa yang
sangat cerdas dan berkompeten di sekolah ini.”
“Maaf, seonsaeng. Bukannya
bermaksud kurang ajar atau apa, tapi bisakah kita langsung ke intinya?” kali
ini giliran Heerin yang bertanya. Cho-seonsaeng hanya bisa tersenyum
penuh arti kepada siswinya yang satu itu.
“Saya mencoba meminta tolong
kepada tetanggamu yang satu ini, apakah ia mau membantumu mempelajari lebih
dalam tentang matematika atau tidak,” jawab Cho-seonsaeng santai.
Mendengar itu membuat kedua mata
Joonmyeon dan Heerin membelalak lebar.
Aku tidak salah dengar, kan? batin mereka berdua yang secara kebetulan secara
bersamaan. Hanya saja, yang satu merasa senang mendengar berita itu sedangkan
yang satu lagi tidak merasa senang mendengar berita itu.
“Maksud seonsaengnim?”
tanya mereka berdua serempak. Cho-seonsaeng mencoba menahan tawanya
sebisa mungkin.
“Kalian berdua ‘kan bertetangga.
Jadi Joonmyeon-sshi bisa membantumu agar kau bisa mengerti matematika
lebih baik, Heerin-sshi. Apalagi dia lebih memiliki akses yang luas
untuk mengajarimu,” jelas Cho-seonsaeng. Heerin mencoba untuk tidak
mendengus sebisa mungkin.
Memiliki akses yang luas, katanya?
Apa-apaan....
Guru matematika itu kemudian
menatap kearah Joonmyeon. “Kau bisa membantunya ‘kan, Joonmyeon-sshi?”
Heerin melirik ke arah pemuda
bermarga Kim yang masih berdiri di sampingnya itu.
Kumohon bilang tidak, kumohon bilang tidak,
kumohon bilang–
“Tentu saja saya bisa, seonsaengnim.”
–tidak.
Heerin menatap sebal Joonmyeon
yang malah menyetujui permintaan guru matematikanya–ralat, guru matematika
mereka itu.
Sementara itu Cho-seonsaeng
tersenyum puas. “Bagus! Saya percaya kalau kau bisa melaksanakan tugasmu dengan
baik, Kim Joonmyeon-sshi.”
Joonmyeon hanya tersenyum
mendengar ucapan guru matematikanya itu. Dengan ini ia jadi punya alasan untuk
tambah dekat dengan Heerin.
“Maaf, seonsaengnim. Tapi
saya masih bisa dibantu oleh kakak saya,” kata Heerin berusaha mencegah agar
semua itu tidak terjadi.
“Tapi kakakmu ‘kan sudah SMA.
Kehidupan di SMA itu jauh lebih rumit lagi, Heerin-sshi,” balas Cho-seonsaeng.
“Bukannya kau sendiri bilang kalau kau tidak mau merepotkan orang lain?”
Heerin menghela nafasnya. Lain
lagi dengan Joonmyeon yang merasa puas.
“Kalau begitu kalian berdua bisa
kembali ke kelas kalian,” titah Cho-seonsaaeng. Kedua insan yang
dimaksud membungkukkan badan mereka kemudian berjalan keluar dari ruang guru.
Begitu di ruang guru, Heerin
menghentikan langkahnya. Ia menoleh kearah Joonmyeon yang berada di belakangnya,
ikut menghentikan langkahnya karena tiba-tiba Heerin menghentikan langkahnya.
“Wae?” tanya Joonmyeon
(sok) polos. Heerin mendengus.
“Tidak usah memasang raut wajah
menggelikan itu,” balas gadis itu. “Sebenarnya apa maumu, sih? Kenapa kau mau saja
menerima permintaan Cho-seonsaeng?”
Karena aku ingin menjadikanmu pendamping
hidupku, jawab Joonmyeon dalam hati.
Tidak mungkin ia langsung menjawab seperti itu. Bisa-bisa gadis yang ada di
hadapannya saat ini makin tidak menyukainya, atau malah membencinya.
“Aku mencoba membantumu, kok,”
jawab Joonmyeon.
“Membantuku? Tidak perlu. Aku bisa
sendiri, kok,” kata Heerin.
“Kalau seandainya kau tetap tidak
bisa juga bagaimana?” tanya Joonmyeon lagi. “Manusia itu makhluk sosial.
Bagaimanapun juga mereka pasti akan membutuhkan bantuan dari orang lain.”
“Iya, tapi tidak jika bantuan itu
dari orang sepertimu,” balas Heerin lagi dengan tajam. “Sejak dari awal aku
melihatmu kau tidak pernah memberikan kesan baik untukku.”
Dahi Joonmyeon mengernyit. “Sejak
awal? Maksudmu ketika kau melihatku bermain bersama kakakmu? Bahkan waktu itu
kita belum berbicara seperti saat ini,” tuturnya. Sebenarnya ia tahu maksudnya
adalah ketika gadis itu menginap di rumahnya.
“Sudah kubilang jangan pasang raut
wajah menggelikan itu,” ucap Heerin lagi. “Yang jelas aku tidak mau diajari
orang sepertimu. Lebih baik aku belajar sendiri,” Heerin kemudian berbalik dan
berjalan menuju kelasnya. Meninggalkan sosok Joonmyeon yang hanya bisa menghela
nafasnya.
Tidak. Ia tidak mau menyerah
seperti ini. Ia harus bisa mendekati gadis itu, dan ia harus bisa tetap
memegang omongan ayahnya tadi malam.
~oOo~
Sorenya, Heerin pulang ke rumah
dengan keadaan wajah yang masih kusut. Kejadian ketika di ruang guru pada waktu
istirahat tadi masih terngiang di kepalanya. Ia sudah mencoba meminta hiburan
dari teman-temannya tadi, tapi entah kenapa tetap saja tidak membantu.
“Aku tidak tahu apa yang terjadi
padamu. Tapi yang jelas, semangat, Heerin-ah,” begitulah pesan dari
teman-temannya saat di perjalanan pulang tadi.
Gadis bermarga Shin itu menghela
nafasnya. Setelah menaruh sepatunya di rak sepatu yang berada di dekat pintu,
gadis itu kemudian berjalan ke kamarnya. Rumahnya tampak begitu sepi. Kedua
orangtuanya masih berada di tempat kerja sementara Minseok sedang ada latihan
sepak bola di sekolahnya.
Sesampainya di kamar, Heerin
menaruh tasnya di atas meja belajar. Kemudian ia merebahkan tubuhnya diatas
tempat tidur. Kedua matanya menatap langit-langit kamarnya dengan tatapan
kosong.
Jemari kedua tangannya kini tengah
memainkan ujung rambut panjangnya yang masih terkepang dengan setia.
“Kenapa sih harus berakhir seperti
ini?” tanya Heerin lebih kepada dirinya sendiri. Ia kemudian mengambil boneka teddy
bear yang berada di samping kepalanya. Boneka teddy bear itu ia peluk
dengan erat.
Entah kenapa kedua matanya terasa
begitu berat. Mencoba untuk menutup sebisa mungkin. Tapi Heerin bukanlah
tipikal orang yang hobi tidur siang. Ia berniat ingin bangun dari posisinya.
Namun apa daya. Rasa mengantuk
pada dirinya makin membesar, mendorong agar gadis itu segera memejamkan kedua
matanya dan mulai memasuki alam mimpinya.
Dan benar saja. Beberapa detik
kemudian Heerin pun tertidur dengan pulas.
~oOo~
Kedua mata Heerin perlahan mulai
terbuka begitu ia merasakan ada seseorang yang mencoba membangunkannya. Gadis
itu dapat merasakan silau dari lampu kamarnya yang menyala dengan terang.
Hal yang pertama ia dapati adalah
sosok Minseok yang berada di samping tempat tidurnya.
“Uri dongsaeng sudah
bangun, ne?” begitulah ucapan yang meluncur dari bibir Minseok. Heerin
hanya tersenyum mendengar ucapan kakaknya barusan.
Ia mencoba beranjak dari posisinya
saat ini dan kini posisinya berubah menjadi posisi duduk.
“Biasanya sepulang sekolah kau
selalu bermain game di komputermu,” komentar Minseok.
“Entahlah, oppa. Aku
merasa.....lelah, mungkin?” ujar Heerin. Minseok hanya terkekeh mendengar
perkataan adiknya.
“Ah, iya. Appa menyuruhku
untuk memanggilmu,” Minseok teringat tujuan utama mengapa ia membangunkan
adiknya.
“Eh? Ada apa?” tanya Heerin bingung.
“Molla. Tapi yang jelas kau
mandi dulu. Badanmu bau keringat,” ledek sang kakak. Heerin langsung memukul
lengan Minseok.
“Aish oppa, neo jinjja!”
Minseok tertawa puas sebelum ia akhirnya keluar dari kamar adiknya. Sementara
itu Heerin langsung pergi ke kamar mandi mengingat sudah sore dan ia harus
mandi sore.
10 menit kemudian Heerin sudah
selesai mandi dan sudah memakai baju rumahnya seperti biasa; sebuah kaus dan
celana pendek selutut. Rambut panjangnya yang biasanya ia kepang dibiarkan
digerai untuk saat ini.
Gadis itu kemudian berjalan keluar
dari kamarnya menuju lantai bawah rumahnya. Begitu ia sampai di ruang keluarga,
ia mendapati ayahnya tengah menonton televisi.
“Appa memanggilku?” tanya
Heerin. Sang ayah menoleh kearah Heerin yang berdiri di ambang-ambang
perbatasan ruang keluarga dengan ruang tamu rumah.
“Duduklah, Heerin-ah,”
perintah ayah Heerin dengan raut wajah serta suara yang serius. Heerin menelan
ludahnya getir. Biasanya kalau sang ayah sudah seperti ini pasti mau
membicarakan hal yang serius.
Heerin pun duduk di sofa yang
berseberangan dengan sofa yang diduduki oleh ayahnya. Ayah Heerin mengecilkan volume
suara televisi.
“Ayah dengar dari Cho-seonsaeng
hasil ulangan matematikamu jelek. Benarkah itu, Heerin-ah?” tanya ayah
Heerin persis seperti Cho-seonsaeng menanyainya tadi; pelan namun
terdengar mengerikan.
Benar ‘kan? Pasti mau menanyai hal itu, batin Heerin. Ia kemudian mengangguk.
“Kenapa nilaimu bisa jelek seperti
itu? Dan ayah dengar kalau nilaimu paling rendah satu kelas,” ujar ayah Heerin.
“Eumm.....i-itu, mungkin
karena......a-aku tidak bisa berdamai dengan matematika.......” jawab Heerin
terbata-bata.
“Ayah sudah mendengar semuanya
dari Cho-seonsaeng,” kata ayah Heerin. Membuat Heerin membatu sejenak di
tempatnya.
“M-maksudnya......??” tanya
Heerin. Jangan sampai dia tahu masalah yang tadi, harapnya dalam hati.
“Jadi Cho-seonsaeng bilang
kepada appa kalau ia meminta tolong pada–“
Tiba-tiba terdengar bel pintu yang
berbunyi. Heerin langsung beranjak dari tempat duduknya begitu ibunya yang
tengah berada di dapur menyuruhnya untuk membukakan pintu.
Gadis itu merasa lega karena
akhirnya ada pengalihan topik juga. Dengan santainya Heerin membukakan pintu
untuk tamu yang membunyikan bel itu....
.....sebelum akhirnya ia kembali
menutup pintu begitu mengetahui siapa yang datang.
“Heerin-ah,” terdengar
suara ayahnya dari ruang keluarga.
“N-ne, appa?”
“Tadi itu Joonmyeon, ‘kan? Bukakan
pintu untuknya,” perintah sang ayah. Heerin hanya bisa menghela nafasnya
sejenak sebelum akhirnya ia kembali membukakan pintu.
Begitu pintu terbuka, yang ia
dapati adalah sosok Kim Joonmyeon yang tengah terdiam di tempatnya
berdiri–mungkin masih shock karena tiba-tiba pintu kediaman keluarga Kim
dibanting tepat di depan mukanya.
Heerin memutar kedua bola matanya
sebelum ia berkata, “Kau beruntung karena aku disuruh ayahku.” Ia pun
mempersilahkan Joonmyeon untuk masuk.
Joonmyeon sendiri mencoba untuk
tersenyum kepada Heerin sebisa mungkin, tanpa menyadari kalau gadis itu agak
terperangah melihat senyum Joonmyeon barusan.
Formalitas yang sangat baik, komentar Heerin dalam hati. Ah, andaikan ia tahu
kalau senyum itu bukan sekedar formalitas saja.....
“Eoh? Ada Joonmyeon?” terdengar
suara Minseok yang baru saja dari dapur. Ia berniat untuk memanggil ayah dan
adiknya karena makan malam sudah matang.
“Lama tak jumpa, hyung,”
Joonmyeon menyapa Minseok dengan akrabnya. Pemuda itu langsung berjalan
mendekati Minseok, meninggalkan Heerin yang kembali memutar kedua bola matanya
melihat pemandangan seperti itu. Tidak lupa gadis itu menutup pintunya kembali.
“Kehidupan SMA merepotkan sekali.
Ah iya, bagaimana keadaan tim sepak bola di sekolah?” tanya Minseok.
“Tenang saja. Luhan bisa mengurusnya
dengan baik, hyung,” jawab Joonmyeon.
Sementara Heerin hanya bisa
menatap kedekatan kedua pemuda itu dalam diam. Ia heran, kenapa Joonmyeon bisa
sedekat itu dengan Minseok sementara dengan dirinya sendiri tidak?
Karena menurutku Kim Joonmyeon itu menyebalkan.
Makanya aku tidak mau dekat dengannya,
batin Heerin.
“Joonmyeon-ah! Kau datang
rupanya!” kali ini ibu Heerin yang menyambut kedatangan Joonmyeon. Pemuda
bermarga Kim itu membungkukkan badannya kepada nyonya Shin.
“Annyeong haseyo, imonim.
Bagaimana perjalanannya di Vietnam kemarin?” tanya Joonmyeon dengan ramah.
“Begitulah. Sangat menyenangkan.
Hanya saja karena kami kesana dengan tujuan bisnis jadi tidak sempat
jalan-jalan disana,” jawab ibu Heerin.
Heerin sendiri mendengus kesal.
“Dasar penjilat,” gumamnya sangat pelan.
Tetapi Joonmyeon dapat
mendengarnya. Terbukti ketika pemuda itu melirik Heerin dengan tatapan tak
pasti. Heerin sendiri? Ia membalas tatapan pemuda itu dengan tatapan ‘Kenapa?
Ada masalah?’.
“Kau ikut makan malam dengan kami,
ne?” tawar ayah Heerin yang dalam sekejap sudah berdiri di samping
Joonmyeon.
“Eh? Apa tidak apa-apa, ajussi?”
tanya Joonmyeon merasa tidak enak.
“Tentu saja tidak apa-apa! Heerin-ah!
Kau juga, kenapa kau masih berdiri di depan pintu seperti itu?” tanya ayah Heerin
begitu menyadari putri bungsunya masih berdiri di dekat pintu.
“Ne, arasseo,” jawab Heerin dengan malas-malasan. Ia pun
berjalan menuju ruang makan.
Sebenarnya anak bungsu di rumah ini dia
atau aku, sih?
~oOo~
“Jadi kapan kau mulai bisa
membantu Heerin dalam pelajaran matematikanya?” tanya ayah Heerin begitu ia
sudah menghabiskan makan malamnya.
“Selama masih di semester ganjil
sih aku tidak apa-apa,” jawab Joonmyeon yang masih setia dengan nada ramahnya.
“Bagaimana kalau malam ini saja?”
celetuk ibu Heerin. Spontan, Heerin yang masih menyantap makanannya langsung
tersedak. Joonmyeon yang kebetulan duduk di sampingnya langsung memberikan
segelas air putih untuk Heerin.
Heerin sempat ragu untuk
menerimanya atau tidak sebelum akhirnya ia langsung mengambil gelas itu dan
meminum isinya.
Tentunya tanpa mengucapkan terima
kasih.
“Heerin-ah, kalau kau
diberi segelas air putih ketika kau tersedak seperti itu maka kau harus
mengucapkan apa?” tanya ibu Heerin yang langsung menyadari hal itu begitu
Heerin sudah meninum air putihnya.
Kembali Heerin sempat ragu-ragu,
apa ia harus mengucapkannya atau tidak. Tapi daripada kena omelan ibunya lebih
baik ia mengatakannya.
“Kamsahamnida.....” kata
Heerin dengan suara yang sangat pelan.
“Suaramu pelan sekali,” komentar
ibu Heerin sembari menggelengkan kepalanya.
“Tapi ‘kan aku sudah
mengucapkannya, eomma,” balas Heerin merasa tidak terima.
“Paling tidak kau bisa
mengucapkannya dengan suara yang lebih kencang lagi. Dan kau harus
mengatakannya tidak se-formal itu. Katakan ‘Gomapta, Joonmyeon-oppa’,”
Heerin melongo mendengar perkataan ibunya barusan.
Gila. Apa ia harus memanggil orang
itu dengan panggilan oppa?
“Ulangi lagi,” perintah ibunya.
“Dia sunbae-ku di sekolah.
Jadi aku harusnya memanggilnya sunbaenim, bukan oppa,” ujar Heerin.
“Disini bukan di sekolah, jadi kau
bisa memanggilnya ‘oppa’ semaumu. Bagaimanapun juga dia itu temanmu,
bukan sekedar seniormu di sekolah. Ayo, ulangi lagi. Katakan seperti yang eomma
ucapkan tadi,” perintah ibunya lagi.
Bibir bawah Heerin memaju ke depan karena
kesal, tanpa tahu kalau sosok di sampingnya kini gemas melihatnya seperti itu.
Heerin menatap Joonmyeon dengan
tatapan sebal sebelum akhirnya ia berkata, “Gomapta, Joonmyeon.....oppa.....”
Oh, Tuhan. Rasanya Joonmyeon
begitu senang tatkala ia mendengar Heerin memanggilnya ‘oppa’. Andaikan
gadis itu mau memanggilnya dengan panggilan ‘oppa’ tidak hanya untuk
saat ini tapi juga untuk seterusnya.
“Ah iya, tidak apa-apa kok,” kata
Joonmyeon sembari menyunggingkan senyum malaikat yang sudah menjadi trademark-nya.
Kembali Heerin terperangah melihat
senyum Joonmyeon.
Senyumnya menawan juga ya....eh tunggu! Aku
ini berpikir apa, sih?! Gadis itu
langsung menepis pikiran aneh tadi dari benaknya.
“Ehem, maaf mengganggu,” ayah
Heerin berdehem, mencoba mengalihkan situasi. Heerin melirik kearah ayahnya.
Mengganggu apanya coba, pikirnya.
“Jadi, Joonmyeon-ah. Kalau
kau mau, bisakah kau mengajari Heerin mulai dari hari ini?” tanya ayah Heerin
yang melanjutkan pembicaraan yang sempat terhenti tadi.
“Mwo?! Hari ini?!” tanya
Heerin dan Joonmyeon (yang lagi-lagi) serempak. Minseok tertawa pelan melihat
kekompakkan mereka berdua.
Kenapa sih orang ini senang sekali
mengikuti bicaraku? batin Heerin kesal sembari
melirik Joonmyeon.
“Ne. Hari ini. Cho-seonsaeng
meminta agar Heerin bisa memperdalam pengetahuannya tentang matematika secepat
mungkin. Sebentar lagi ujian tengah semester akan diadakan,” jawab ayah Heerin.
“Aish, appa.....Apa harus
hari ini? Ini ‘kan sudah malam,” protes Heerin.
“Memangnya kenapa? Rumah Joonmyeon
‘kan ada di sebelah rumah kita. Jadi dia bisa pulang kapan saja. Toh dia sudah
izin dengan orang tuanya,” Heerin hanya bisa mendengus mendengar perkataan
ayahnya barusan. Dia lupa kalau ia bertetangga dengan Joonmyeon.
“Jadi, Joonmyeon-ah. Kau
tidak apa-apa, ‘kan?” tanya ayah Heerin lagi. Yang ditanya menyunggingkan
senyum ramahnya.
“Ani. Tidak apa-apa, kok, ahjussi,”
jawabnya sopan. Untuk kesekian kalinya Heerin hanya bisa memutar kedua bola
matanya kesal. Pada akhirnya ia pun kalah dalam peperangan.
~oOo~
“Jadi intinya semua persamaan di
aljabar itu harus sama dengan nol,” Joonmyeon mengakhiri penjelasannya mengenai
teori aljabar.
“Kau mengerti, Heerin-ah?”
tanya Joonmyeon sembari menolehkan kepalanya ke arah Heerin yang duduk
disebelahnya. Dan ternyata gadis itu malah asyik menggambar di sketch book-nya.
Joonmyeon pun berdehem dan sukses
mengagetkan gadis itu dari dunia menggambarnya.
”Kkamjjakiya,” gumam Heerin
sembari mengelus dadanya perlahan karena kaget. Sementara Joonmyeon hanya
menatap tajam gadis yang berstatuskan tetangganya itu.
“Kau tadi memerhatikan, tidak?”
tanya Joonmyeon. Untuk ketiga kalinya Heerin mendengar seseorang bertanya
kepadanya dengan suara yang pelan namun terdengar mengerikan. Pertama, Cho-seonsaeng.
Kedua, ayahnya. Dan sekarang.....manusia menyebalkan ini.
“T-tentu saja,” jawab Heerin agak
gugup.
“Kalau begitu bisakah kau
mengulang kalimat terakhir yang kujelaskan tadi, Heerin?” tanya Joonmyeon lagi
dengan horror. Heerin menelan ludahnya getir.
Aish aku tidak memerhatikan daritadi.
Bagaimana ini? pikirnya panik.
“Ermm.....i-itu, aku.....uh.....nan
mollaseo,” jawab Heerin pada akhirnya. Joonmyeon menghela nafasnya sejenak
sebelum ia langsung mengambil sketch book milik Heerin dengan cepat.
“YA! KEMBALIKAN SKETCH
BOOK-KU! APA-APAAN KAU INI?!” omel Heerin sembari berusaha meraih-raih sketch
book-nya yang berada di genggaman tangan Joonmyeon. Namun Joonmyeon makin
menjauhkan sketch book itu dari jangkauan sang pemilik.
“KUBILANG KEMBALIKAN–“ tanpa
sengaja sikut Heerin menyenggol segelas jus yang berada di atas meja belajar
Heerin. Jus itu tumpah dan mengenai jaket hoodie berwarna abu-abu milik
Joonmyeon.
Baik Joonmyeon maupun Heerin
terdiam begitu jus itu membasahi jaket Joonmyeon. Dan yang pertama bereaksi
adalah.....
“A-aku minta maaf.....aku tidak
sengaja.....” ucap Heerin terbata-bata. Lain Heerin, lain pula Joonmyeon.
Pemuda itu hanya menatap Heerin datar.
“Kau pikir hal seperti ini tidak
apa-apa? Sudah berteriak-teriak, menumpahi jaketku dengan jus,” balas Joonmyeon
dengan nada dingin. Seketika Heerin merasa tidak enak karenanya.
“A-aku ‘kan tidak bermaksu–“
“Mungkin kau terlalu kelelahan
hari ini. Kita lanjutkan besok saja,” Joonmyeon memotong ucapan Heerin. Dengan ‘santainya’
Joonmyeon melempar sketch book milik Heerin ke atas meja belajar. Ia
mengambil tasnya dan kemudian berjalan keluar dari kamar Heerin, meninggalkan
sang pemilik kamar yang terdiam di tempatnya dalam keadaan merasa bersalah.
Sepertinya aku sudah keterlaluan. Aku harus
minta maaf padanya besok, batin Heerin.
~oOo~
Heerin sengaja datang ke sekolah
lebih pagi dari biasanya demi menemui Joonmyeon. Tujuannya? Tentu saja ingin
meminta maaf karena kejadian tadi malam. Ia tahu kalau biasanya Joonmyeon
berangkat ke sekolah lebih pagi dari dirinya.
Selain alasan diatas juga karena pasti
suasana sekolah masih sepi. Ia tidak mau dibunuh oleh penggemarnya Joonmyeon karena
mencari-cari pemuda itu. Apalagi Heerin sendiri masih kelas satu.
Dengan hati-hati gadis itu
berjalan mendekati ruang kelas 3-3. Heerin sempat mengintip keadaan kelas itu
dari balik pintu. Keadaan kelas begitu sepi. Hanya ada sekitar 5 orang yang ada
di ruang kelas 3-3.
Salah satu diantara mereka adalah
Joonmyeon, yang tengah mengajari seorang temannya–yang merupakan seorang
perempuan, tapi ia terlihat meminta diajari oleh Joonmyeon bukan karena ingin
melihat ketampanan pemuda itu dari dekat.
Heerin hanya menatap pemandangan
itu dalam diam. Entah kenapa sesuatu dalam dirinya bergejolak begitu melihat
pemandangan seperti itu.
Ia merasa...........kesal?
Gadis bermarga Shin itu tidak
menyadari sosok Luhan yang tengah berjalan ke kelasnya sembari bersiul-siul
dengan santai. Langkah pemuda itu terhenti itu begitu ia melihat seseorang
tengah mengintip dari luar pintu kelasnya.
“Mwo? Bukannya
itu......adiknya Minseok-hyung?” gumam Luhan. Ia berjalan menghampiri
Heerin yang masih setia di posisinya.
“Joesonghabnida, tapi kau
mencari siapa?” tanya Luhan dengan ramah. Heerin tersentak mendengar sebuah
suara menanyainya. Ia langsung menoleh kearah sumber suara, lalu menghela
nafasnya lega begitu tahu kalau yang menanyainya adalah manusia–tepatnya siswa
kelas 3-3.
Tapi kenapa bisa ada laki-laki
secantik dia? Begitulah menurut Heerin ketika ia melihat pemuda yang berada di
hadapannya ini.
“Eumm.....aku ingin
menemui.....J-Joonmyeon....sunbaenim......” jawab Heerin terbata-bata.
Kenapa akhir-akhir ini ia selalu berbicara dengan terbata-bata, pikirnya heran.
Luhan mengangukkan kepalanya
mengerti. “Joonmyeon, ya? Aku panggilkan dulu, ne?”
Heerin membungkukkan badannya–tanda
terima kasih. “Kamsahamnida, sunbaenim,” katanya. Sementara Luhan
menatap gadis itu agak heran.
Yang seperti ini dingin darimananya? Dia
tampak baik-baik saja menurutku,
batin Luhan. Ia kemudian berjalan masuk ke dalam kelasnya, menuju bangkunya
yang berada di sebelah bangku Joonmyeon.
“Hoi, Einstein,” panggil Luhan
sembari menaruh tasnya diatas meja. Joonmyeon langsung menghentikan
kegiatannya; mengajari Sungchan.
“Mwohae?” tanya Joonmyeon.
“Ada yang mencarimu, tuh,” jawab
Luhan santai sembari menunjuk daun pintu. Joonmyeon pun melihat ke arah yang
dimaksud.
Betapa terkejutnya Joonmyeon
begitu ia mendapati sosok Heerin yang tengah menyembunyikan tubuhnya di balik
pintu. Lucu sekali, pikir Joonmyeon.
Sebenarnya Joonmyeon sama sekali
tidak marah dengan Heerin karena kejadian tadi malam. Ia hanya ingin menguji
gadis itu, apa gadis itu benar-benar tidak menyukainya atau apa.
Tapi ia benar-benar tidak
menyangka kalau pada akhirnya Heerin menghampirinya ke kelas.
“Eoh? Nuguji?” tanya
Sungchan yang juga mendapati sosok Heerin di depan kelasnya.
Luhan mendekatkan wajahnya ke
telinga Sungchan, lalu berbisik, “Calon pendamping hidupnya Joonmyeon.”
Sungchan tersentak begitu
menyadari jarak wajah Luhan yang terlalu dekat dengan wajahnya. Refleks, gadis
berkacamata itu langsung menjauhkan wajahnya dari wajah Luhan.
“Aish.....apa-apaan sih kau ini,”
gerutu Sungchan walau sebenarnya ia salah tingkah karena hal yang tadi.
Sementara itu Joonmyeon beranjak
dari tempat duduknya dengan perasaan bahagia, namun ia memasang raut wajah yang
datar. Bagaimanapun juga ia harus terlihat meyakinkan kalau ia marah, bukan?
“Ada apa kau kemari?” tanya Joonmyeon
singkat dan terdengar dingin begitu ia sudah berada di ambang pintu kelasnya.
Kedua matanya menatap tajam Heerin.
Heerin sendiri kaget karena tidak
menyangka kalau tetangganya ternyata sudah kehabisan kesabaran dengannya. Ia
terlihat benar-benar marah, begitulah menurut Heerin.
Spontan gadis berambut panjang itu
langsung membungkukkan badannya. “Mianhaeyosunbaenim.Akutidakbermaksudketerlaluanpadamusungguh.Dansoalyangkemarinituakutidaksengaha,”
ucap Heerin dengan sangat cepat. Sampai-sampai Joonmyeon dibuat melongo
karenanya.
Ya ampun. Kenapa dia ini lucu sekali, sih? pikir Joonmyeon sembari menahan senyumnya
mati-matian.
“Aish. Kalau berbicara itu bicaralah
dengan jelas,” kata Joonmyeon singkat, padat, dan menyakitkan. Cukup membuat
Heerin tersentak karenanya.
“Mianhae....karena selama
ini aku sudah keterlaluan padamu.....padahal kita belum kenal lama, tapi aku
sudah sejahat itu padamu......” ujar Heerin pada akhirnya. “Dan soal yang tadi
malam, aku tidak sengaja. Sungguh.....”
Melihat wajah Heerin yang terlihat
seolah gadis itu sudah mau menangis membuat Joonmyeon seketika merasa bersalah.
Raut wajah serta tatapan kedua matanya pun melembut.
“Dan aku berjanji kalau aku akan
belajar dengan sungguh-sungguh. Aku akan mendengarkan perkataanmu mulai dari
sekarang, sunbaenim,” ucap Heerin dengan pasti.
Astaga. Tak sadarkah ia kalau saat
ini Joonmyeon tengah menahan tawanya mati-matian karena.....yah, rencananya
berhasil?
“Baiklah. Aku akan mengajarimu
lagi. Asal dengan satu syarat. Jangan pernah menggambar lagi kalau aku sedang
mengajarimu, arachi? Kalau aku masih menangkapmu menggambar disaat aku
mengajarimu maka sketch book-mu akan kusita. Kau paham?” ancam Joonmyeon–sebenarnya
ancamannya itu hanyalah wacana belaka. Tapi demi kesuksesan rencananya, ya
kenapa tidak?
Heerin menganggukkan kepalanya
dengan semangat. “Ne, algesseumnida.”
“Kau harus memahami matematika
dengan baik. Kau tahu sendiri ‘kan akhir-akhir ini kau menjadi incaran Cho-seonsaeng
dalam masalah nilai? Aku merasa kasihan denganmu,” tutur Joonmyeon. Kembali
Heerin hanya bisa mengangukkan kepalanya.
“Makanya itu mulai sekarang aku
akan belajar dengan sungguh-sungguh, sunbaenim,” kata Heerin.
Sebuah senyum tulus terukir pada
wajah Joonmyeon begitu ia mendengar ucapan Heerin barusan. Tangan kanannya
mengacak pelan rambut Heerin. “Itu baru adiknya Minseok-hyung,” pujinya.
Sementara Heerin sendiri
terperangah karena diperlakukan seperti itu. Pemuda ini memperlakukannya persis
ketika Minseok memperlakukannya layaknya perlakuan seorang kakak yang baik
terhadap adiknya.
“Kamsahamnida, sunbaenim.
Kalau begitu aku kembali ke kelas dulu, ne?” pamit Heerin.
“Belajar dengan baik,” pesan
Joonmyeon sebelum gadis itu kembali ke kelasnya.
Mendengar perkataan Joonmyeon
membuat Heerin tersenyum kepada pemuda bermarga Kim itu. “Kau terdengar seperti
kakakku saja, sunbaenim,” gumamnya sebelum ia berjalan kembali ke kelas.
Meninggalkan sosok Joonmyeon yang
membatu di tempatnya berdiri sekarang.
Ia tidak salah melihat, ‘kan?
Heerin.....Shin Heerin, yang terkenal dingin itu.....tersenyum kepadanya?
Joonmyeon jadi tersenyum sendiri
karenanya. Mungkin dia punya kesempatan untuk bisa dekat dengan gadis itu.
~oOo~
0 comments:
Post a Comment