Title: The Beginning
Chapter: 5/? [Last Day]
Genre: Romance, Comedy, (a little bit of) School-life
Rate: PG-12
Disclaimer: Plot belongs to me yet inspirated from my friend's fic (you can check it in here. The title of the fic is 'Between You and Me').
Cast:
-EXO members
-Original Characters
Summary: Pertemuan pertama pasangan yang kalian kira manis awalnya tidak semanis yang kalian kira.
Author notes:
Akhirnya bisa saya update juga chapter 5 huhuhu. Semacam ngakak juga sih karena saya nyelesaiin ini semalaman sampai jam 12 maleman, udah mau jam 1 pula cekaceka.
Anyway, happy read~ ^^
~oOo~
Tao menatap langit-langit
kamarnya sembari berbaring di atas ranjangnya. Senyum masih tak luput dari
wajahnya semenjak ia masuk ke kamarnya.
Masih tak dapat dilupakan
olehnya sosok Hyunra. Tatapan kedua mata cokelat yang berbinar-binar itu,
rambut panjang yang terlihat begitu lembut, tawa bahagia yang membuat Tao ikut
tertawa mendengarnya, senyum manis seperti senyum seorang anak kecil yang
bahagia karena dibelikan mainan yang diinginkan......
Gadis itu benar-benar tipenya.
Dia seperti anak kecil berusia 4 tahun yang terjebak dalam tubuh seorang siswi
kelas 1 SMP. Bahkan fisiknya saja seperti anak SD. Tidak seperti fisik Tao yang
mengalami pertumbuhan kelewat luar biasa–terima kasih kepada wushu yang sudah
ia pelajari semenjak ia masih kecil.
Selain itu, kepribadian Hyunra
yang ajaib juga berhasil memikat hati Tao. Tidak hanya fisiknya yang terlihat
seperti anak kecil–walau tidak separah Seungwoo, tetapi sifatnya yang begitu
menggemaskan itu membuat Tao tertawa karenanya. Humor-humor jenaka yang keluar
dari mulutnya, kehebohannya yang tidak berbatas, serta tidak lupa kepintaran
gadis itu mengingat ia termasuk salah satu siswa di sekolah yang memperoleh
nilai tinggi pada tes masuk–tadi Heerin dan teman-temannya sempat mengerjakan
PR bersama.
Kembali Tao hanya bisa
tersenyum bahagia mengingat hal-hal yang tadi ia alami ketika Hyunra dan
teman-temannya yang lain datang ke rumahnya. Ah tidak. Tepatnya rumah saudara
jauhnya Tao.
Lalu ketika gadis bermarga Park
itu berpamitan pulang, ingin rasanya Tao mencegahnya agar gadis itu tetap
berada di sisinya. Agar mereka bisa bercanda dan tertawa bersama....
Dan tampaknya pemuda kelahiran
Qingdao itu akan betah untuk tinggal sementara di negeri ginseng itu. Karena
selain ia bertemu dengan teman-teman yang sangat menyenangkan, ia juga telah
bertemu dengan sosok yang dicarinya.
Siapa
sangka cinta yang bersemi saat kau masih kelas 1 SMP terasa begitu menyenangkan?
~oOo~
Sekitar pukul 7 malam Joonmyeon baru pulang. Ia baru saja
pulang dari rumah seorang senior kenalannya yang baru saja masuk SMA. Pemuda
itu meminta untuk diajari beberapa materi yang masih agak tidak mengertinya.
Terutama soal pelajaran sejarah dunia. Entah kenapa otaknya
yang sebenarnya bisa tergolong jenius itu agak kewalahan dalam menerima
pelajaran sejarah dunia.
Begitu ia memasuki rumahnya, yang pertama ia dapati adalah
sosok Heerin yang baru saja kembali dari dapur. Sementara para maid dan butler sudah pulang dari jam setengah 7 tadi.
“Kau sudah pulang,” ucap Heerin dengan nada ala kadarnya;
datar. Joonmyeon menghela napasnya.
Ia jauh berbeda dengan
para maid yang biasanya menyapaku dengan nada ramah yang tulus,
komentar pemuda itu dalam hati.
“Tao eodiya?” tanya
Joonmyeon begitu ia sadar kalau saudara jauhnya sedang tidak ada di tempat saat
itu.
“Dia sudah berada di kamarnya. Mungkin kelelahan,” jawab
Heerin ala kadarnya.
“Bagaimana tadi dengan teman-temanmu?” tanya Joonmyeon
sembari menaruh ranselnya di atas sofa ruang tengah. Ia baru sampai ke rumahnya
dan ia terlalu lelah untuk berjalan ke kamarnya yang berada di lantai atas.
“Eumm......baik-baik saja,” jawab Heerin dengan nada agak
ragu. Sebenarnya ia masih ragu karena teman-temannya tadi datang ke rumah
Joonmyeon tanpa izin dari Joonmyeon langsung.
“Sudahlah. Kau tidak usah merasa ragu seperti itu. Kalaupun
ada aku di rumah juga aku pasti akan mengizinkan teman-temanmu untuk datang,
kok,” seolah bisa apa yang ada dalam pikiran Heerin, dengan mudahnya (dan
dengan suara yang lembut) Joonmyeon mengucapkan kalimatnya barusan.
Heerin sendiri sempat tersentak kaget mendengar ucapan
Joonmyeon. Namun ia bisa mengatasi kekagetan sejenaknya itu.
“Kau tadi habis ngapain saja dengan teman-temanmu?” tanya
Joonmyeon lagi. Kali ini membuat dahi Heerin mengernyit.
Dia ini.....kenapa, sih?
Seperti orangtuaku saja, batin gadis bermarga Shin itu.
“Kami mengerjakan PR bersama mengingat PR-nya besok
dikumpulkan. Tapi pada akhirnya kami melakukan hal-hal random, sih,” jawab Heerin.
“Ah jinjja?
Terdengar menyenangkan,” ucap Joonmyeon. Bermaksud untuk ramah dengan gadis itu
seperti biasa.
“Bukannya sunbae
sendiri dari rumah teman sunbae? ‘Kan
bisa main monopoli dan UNO di rumahnya,” tukas Heerin yang masih setia dengan
nada datarnya. Lagi-lagi Joonmyeon hanya bisa menghela napasnya.
Kenapa gadis ini sulit
sekali didekati, gerutunya dalam hati.
Malam itu pun berjalan dengan seperti biasanya. Ya setidaknya
tidak berjalan seperti biasa untuk Tao.
~oOo~
-Keesokan harinya.....-
Hari ini, kedua orang tua Heerin serta kakaknya akan pulang.
Itu berarti ini adalah hari terakhir Heerin menginap di kediaman keluarga Kim.
Tidak ada tempat seindah
rumah, batin Heerin sembari membereskan barang-barangnya ke dalam
tas. Ia senang, akhirnya bisa kembali ke rumahnya juga walau sebenarnya
rumahnya berada di sebelah kediaman keluarga Kim.
Tapi ya karena ia tidak memegang kunci rumah, mau bagaimana
lagi?
Sementara itu, tampak seseorang yang tengah duduk di atas
tempat tidurnya. Raut wajahnya terlihat tidak begitu baik. Dan sepertinya itu
karena.....hari ini sudah tiba?
Joonmyeon mengacak kasar rambutnya. “Aish.....kenapa aku
harus sedih karena ia sudah tidak disini lagi? Harusnya aku bisa tenang karena
ia sudah tidak disini lagi,” rutuknya.
Ya, bagi kalian yang menebaknya dengan benar maka selamat.
Seorang Kim Joonmyeon tidak senang karena ini adalah hari terakhir seorang Shin
Heerin menginap di rumahnya.
Apa ia lupa kalau mereka berdua itu bertetangga?
Seseorang mengetuk pintu kamar Joonmyeon dari luar, dimana
sang pemilik kamar menyuruh orang itu untuk masuk. Pintu pun terbuka dan
menampakkan sosok Huang Zitao.
“Apa yang sedang kau lakukan, gē?” tanya Tao sembari melangkahkan kedua
kakinya ke dalam kamar Joonmyeon. “Dan.....kenapa rambutmu berantakan begitu?”
Joonmyeon hanya terdiam menatap
saudara jauhnya itu. Mana mungkin dia menjawab alasan dibalik berantaknya
rambut hitamnya itu, ‘kan?
Dan tampaknya, tanpa membutuhkan
jawaban pun Tao sudah mengerti situasinya. Pemuda Cina itu menyunggingkan
senyum usilnya.
“Oh, aku mengerti. Gēgē
seperti ini karena hari ini Heerin akan pulang, ‘kan?” terka Tao. Dan benar
saja, wajah Joonmyeon merona menahan malu karena dalam sekejap Tao bisa
langsung menebak situasi yang tengah dialaminya saat ini.
Tao langsung tertawa puas karena
tebakannya benar. “Sudah kubilang ‘kan kalau tidak hanya gēgē saja yang
pintar. Aku pun juga.” Ia pun duduk di samping Joonmyeon yang masih terdiam
itu.
“Sudahlah, gē. Lagipula kalian berdua kan
bertetangga. Rumahnya bersebelahan, pula! Kenapa juga kau harus sedih, sih?”
Joonmyeon menghela napasnya
sebelum ia menjawab, “Aku juga tidak tahu.”
Tao hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Tetapi sebuah kalimat terlintas di otaknya yang membuat sebuah senyum usil
kembali terukir di wajahnya.
“Gē, kalau kau tidak mau
sedih seperti ini terus, nikahi saja dia. Biar bisa serumah,” ucapnya santai.
Joonmyeon menoleh ke arah saudara jauhnya dengan kedua mata terbelalak lebar.
“APA?!?! YAISH KAU INI!” Joonmyeon
pun langsung menyerang Tao dengan menggelitikinya. Spontan Tao pun langsung
tertawa karena geli akibat digelitiki oleh Joonmyeon. Sampai akhirnya pintu pun
kembali diketuk dari luar.
“Tuan muda, apa Anda ada di dalam?”
terdengar suara Sung-ahjussi, membuat Joonmyeon menghentikan aktivitas
‘mari menggelitiki Tao’-nya. Sedangkan Tao sendiri merasa terselamatkan karena
akhirnya bisa terlepas dari gelitikan saudara jauhnya yang –menurutnya– maut
itu.
Ingatkan ia untuk berterima kasih
kepada butler itu nanti.
Dan ternyata Sung-ahjussi
memanggil mereka berdua untuk makan siang. Yah atau tepatnya makan siang yang
terakhir bersama putri bungsu dari keluarga Shin–setidaknya begitulah cara Tao
yang lain agar bisa meledek saudara jauhnya.
Ingatkan Joonmyeon untuk memberi
pelajaran kepada saudara jauhnya ini nanti.
~oOo~
“Jadi
Dongwoo dan Joonyoung akan pulang jam 2 nanti?” tanya ibu Joonmyeon kepada
Heerin. Saat ini mereka sedang berada di ruang makan, tengah menyantap makan
siang.
Sedangkan
yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya saja.
Pendiam sekali, pikir Joonmyeon yang melihat Heerin
seperti itu. Sedari tadi semenjak ia tiba di ruang makan dan ikut makan siang –kedua
orangtuanya dan Heerin sudah berada di ruang makan terlebih dahulu–, Joonmyeon tidak
bisa mengalihkan pandangannya dari gadis bermarga Shin itu.
“Kalau
kakakmu?” kali ini giliran ayah Joonmyeon yang bertanya. Heerin tampak berpikir
sejenak, membuat Joonmyeon jadi tersenyum melihatnya. Tak dipedulikannya
kekehan dari Tao yang duduk di sampingnya.
“Sekitar
jam 5 sore kalau tidak salah,” jawab Heerin akhirnya.
“Tidak
terasa sudah 3 hari kau disini, Heerin-ah,” ujar ibu Joonmyeon. “Padahal
ahjumma masih ingin kau disini.”
Heerin
menyunggingkan senyum kecilnya sebelum ia berkata, “Kita ‘kan bertetangga, ahjumma.
Lagipula juga aku ‘kan hanya menumpang saja disini.”
Tapi kau juga berperan penting
dalam menarik perhatianku, Shin Heerin,
batin Joonmyeon. Tatapan kedua matanya masih tidak bisa lepas dari gadis itu.
Merasa
dirinya sedari tadi dilihati, Heerin pun menoleh ke arah Joonmyeon. Namun
pemuda itu sendiri tengah menyantap makan siangnya dengan lahap. Dan kedua mata
pemuda itu tidak menatap Heerin sama sekali.
Rumah ini ada ‘penjaganya’, ya?, tanya Heerin dalam hati. Gadis itu jadi bergidik
ngeri memikirkannya.
Sementara
itu Joonmyeon merasa lega karena dirinya tidak ketahuan tengah menatap Heerin
daritadi. Kalau ketahuan......mungkin perang dingin diantara mereka akan masuk
ke tahap lebih tinggi.
~oOo~
-Singkat
cerita, malam harinya.....-
Seperti
biasa Joonmyeon tengah belajar. Hanya saja kali ini materinya bukanlah
matematika atau fisika yang merupakan pelajaran yang ia suka.
Melainkan
sejarah. Pelajaran yang tidak pernah disukainya.
Besok
ia ada ulangan harian sejarah. Jam pelajaran pertama pula. Membuat Joonmyeon
yang sudah kelewat rajin itu harus mengulangi materi-materi sejarah yang sudah
ia pelajari sebelumnya.
Unik
sekali. Seorang cerdas seperti Kim Joonmyeon saja bisa tidak menyukai sejarah.
Tapi lebih menyukai pelajaran rumit macam matematika dan fisika.
Saat
sedang asyik belajar, seseorang mengetuk pintu kamar Joonmyeon dari luar.
“Nuguya?”
tanya Joonmyeon dengan suara agak dikeraskan tanpa mengalihkan pandangannya
dari catatan sejarah di bukunya.
“Bolehkah
appa masuk ke dalam?” orang itu–yang ternyata adalah ayah Joonmyeon
bertanya balik.
“Masuk
saja, appa,” Joonmyeon mempersilahkan ayahnya untuk masuk tanpa berniat
untuk membukakan pintu untuk ayahnya. Entah kenapa catatan sejarah itu seolah
menyuruhnya agar tidak beralih dari tempatnya saat ini.
Ayah
Joonmyeon membuka pintu, berjalan masuk ke dalam kamar putra semata wayangnya
itu. Dapat dilihat anaknya yang tengah belajar dengan serius itu. Membuat sang
ayah tersenyum melihatnya.
Dengan
langkah perlahan agar tidak mengusik keseriusan Joonmyeon, ayahnya mendekati
Joonmyeon.
“Kau
sedang belajar apa? Serius sekali,” tanya ayah Joonmyeon sembari duduk di salah
satu kursi yang ada di dekat meja belajar Joonmyeon.
“Sedang
mempelajari sejarah pra-kemerdekaan Korea Selatan,” jawab Joonmyeon. Dan lagi,
pandangannya masih tidak teralih dari catatan-catatan sejarah yang begitu membuat
kepalanya agak penat itu.
“Apa
kau mengalami kesulitan pada pelajaranmu?” tanya ayah Joonmyeon lagi.
“Yah
walaupun terkadang sulit aku sering meminta bantuan kepada anaknya tuan Lee,”
jawab Joonmyeon. Sang ayah menganggukkan kepalanya paham.
Ayah
Joonmyeon jadi teringat akan tujuan utama mengapa ia ke kamar anaknya itu.
“Begini,
Joonmyeon-ah,” mulai ayah Joonmyeon. “Kau tahu ‘kan kalau kau
satu-satunya anak di keluarga ini?”
Joonmyeon
menganggukkan kepalanya sekali. “Ne. Lalu?”
“Itu
berarti kau yang akan menjadi pewaris perusahaan milik appa.”
“Aku
tahu itu. Lalu?”
“Karena
dari itu kau harus bisa menempuh pendidikan dengan baik agar kau bisa mendapat
pendamping hidup yang baik pula,” mendengar kalimat ayahnya barusan membuat
Joonmyeon menghentikan kegiatannya sejenak. Ia menolehkan kepalanya ke arah
ayahnya, menatap sang ayah dengan tatapan bingung.
Kenapa
tiba-tiba ayahnya membicarakan masalah ‘pendamping hidup’? Lulus sekolah
menengah pertama saja belum. Sudah diajak bicara hal seperti ini, pikirnya.
“Maksud
ayah mendapat pendamping hidup yang baik?” Joonmyeon bertanya balik.
“Sebelumnya
appa ingin bertanya dulu padamu. Kau jawab dengan jujur. Apa kau punya yeojachingu?”
tanya–atau tepatnya interogasi ayah Joonmyeon.
Joonmyeon
sedikit mendengus mendengar kata ‘yeojachingu’. Atau dengan kata lain,
kekasih.
“Eobseo,”
jawab Joonmyeon singkat dan padat.
“Jinjjayo?”
Joonmyeon meringis sebal.
“Jinjja,
appa. Kenapa sih kau tidak percaya pada anakmu sendiri? Appa tahu
sendiri aku lebih tertarik belajar daripada mencari yeojachingu,” ujar
Joonmyeon. Ya memang benar sih. Ia lebih senang belajar daripada sibuk mencari gadis
yang tepat untuk dijadikan kekasihnya. Ia bukan orang yang tertarik pada
percintaan.
Mendengar
ucapan anaknya membuat ayah Joonmyeon tersenyum puas. Joonmyeon sendiri yang
melihatnya langsung menaikkan sebelah alisnya.
“Memangnya
ada apa, sih?” tanya Joonmyeon lagi. Ia berusaha mengalihkan dirinya dari
pembicaraan yang –menurutnya– menyebalkan itu dengan melanjutkan kegiatan
belajar sejarahnya.
Dia
berharap semoga ayahnya tidak membawa-bawa mengenai–
“Kalau
begitu kau mau ‘kan menerima Heerin sebagai pendamping hidupmu?”
–perjodohan.
Tunggu.
Apa katanya tadi? Kenapa ada nama Heerin?
Joonmyeon
sudah kehilangan minatnya untuk belajar pada malam itu juga. Ia lebih tertarik
mendengarkan apa yang ingin ayahnya bicarakan kepadanya. Tentu saja, karena
sang ayah membawa-bawa nama Heerin. Yang tidak lain adalah tetangganya yang
pendiam dan dingin itu.
“Tadi
appa bilang apa?” Joonmyeon bertanya, memastikan bahwa tadi ia tidak
salah mendengar.
“Begini.
Ayah bisa melihat kalau Heerin itu anak yang sangat baik. Dia juga tidak begitu
banyak bicara, dan ia juga pintar–untungnya ia tidak maniak belajar,” Joonmyeon
merasa tersindir mendengar kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya tadi.
“Ayah
dan ibu merasa kalau dia cocok bersamamu,” dan di detik berikutnya kedua mata
Joonmyeon membelalak mendengar kalimat yang baru saja ia dengar.
Heerin?
Shin Heerin? Shin Heerin yang pendiam dan dingin itu, cocok dengan Kim
Joonmyeon?
Joonmyeon
tidak salah dengar, ‘kan? Bolehkan ia bahagia pada saat itu juga?
...eh,
tunggu. Kenapa ia harus bahagia?
Dan
kenapa wajahnya harus memanas di saat itu pula?
“Bagaimana
menurutmu? Ayah merasa kau juga berpikir seperti itu,” suara ayahnya berhasil
menyadarkan Joonmyeon dari dunia lamunannya.
“E-eh?
A-aniya....b-buat apa aku berpikir, s-seperti itu?” tanya
Joonmyeon terbata-bata. Sialnya ayahnya sudah menyunggingkan senyum penuh arti
kepadanya.
“Kau
pikir ayah tidak menyadarinya? Ayah tahu kalau sebenarnya kau ingin mencoba
dekat dengannya. Bahkan ayah tahu kalau saat makan siang tadi kau asyik menatap
Heerin sampai tersenyum sendiri segala,” jawab ayah Joonmyeon santai.
Joonmyeon
sempat berpikir kalau Tao menjadi salah satu alasan mengapa ayahnya bisa tahu.
Saudara jauhnya yang satu itu ‘kan sangat mendukung Joonmyeon dan Heerin....
Ayah
Joonmyeon menaruh tangan kanannya pada bahu anaknya. “Tenang saja, Joonmyeon-ah.
Ayah mendukungmu, kok. Kalian berdua hanya perlu sedikit waktu agar bisa dekat,”
ujar sang ayah. Ia pun beranjak dari tempatnya duduk kemudian berjalan keluar
dari kamar Joonmyeon.
Tetapi
ketika ayah Joonmyeon berada di daun pintu dan baru saja ingin menutup pintu
kamar putranya, ia melanjutkan ucapannya, “Kalau mau jadikan dia nyonya muda di
keluarga ini. Arachi?”
Tepat
setelah itu sang ayah menutup pintu dari luar. Meninggalkan Joonmyeon yang
terbengong-bengong mendengar perkataan ayahnya barusan.
Tak
lama, pemuda itu langsung mengacak rambutnya sebelum ia bergumam, “Aish......memalukan
sekali.”
~oOo~
-Sementara
itu, di rumah sebelah....-
Heerin
tengah memainkan game pada komputer yang ada di kamarnya. Biasanya gadis
itu sangat fokus kalau sudah melakukan sesuatu, terutama kalau sudah bermain game.
Namun
baru kali ini seorang Shin Heerin tidak bisa fokus dalam kegiatan bermain game-nya.
Ia
mendesah nafasnya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mematikan komputernya
saja. Begitu komputernya sudah dimatikan, Heerin terdiam sejenak di tempat
duduknya.
Kenapa
ia merasa aneh sekali sekarang? Padahal sebelumnya ia tidak pernah merasa
seaneh ini. Tidak sebelum ia–
Tunggu.
Kenapa jadi membawa-bawa hal itu?
Gadis
bermarga Shin itu menggelengkan kepalanya. Aniya, masa iya karena hal
seperti itu sih?, batinnya.
Ia
membutuhkan udara segar. Maka Heerin memutuskan untuk ke balkon kamarnya
sebentar sebelum akhirnya ia tidur. Tidak lupa ia membawa iPod-nya untuk
mendengar lagu. Sudah menjadi kebiasaan baginya kalau sebelum tidur ia harus
mendengarkan beberapa lagu terlebih dahulu.
Hanya
saja satu yang aneh; kenapa harus mendengarkan lagu di balkon? Biasanya ia
langsung mendengarkan lagu begitu ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.
Dan ia akan tertidur hingga keesokan paginya gadis itu menemukan iPod-nya sudah
berada di atas meja belajarnya–terima kasih kepada sang kakak atau sang ibu yang dengan baik hati mau
memindahkannya.
Ya
itu tadi. Mungkin karena ia sedang membutuhkan udara segar.
Begitu
berada di balkon kamarnya, Heerin segera memasang headset-nya yang sudah
tersambung dengan iPod-nya kemudian memutar lagu yang ada di iPod-nya.
Ia
menyandarkan tubuhnya pada kedua tangannya yang bertumpu pada railing
balkon sembari menikmati segarnya udara malam yang menerpa. Inilah yang
dibutuhkan Heerin saat ini. Udara segar yang bisa membantunya untuk menjernih
pikirannya.
Entah
apa yang menghantui pikirannya saat ini. Ia sendiri juga tidak mengerti. Ia
merasa ada sesuatu yang aneh dan sesuatu itu terus mengganjal pada dirinya. Ia
merasa ada sesuatu yang.....kurang.
Aneh.
Padahal kedua orangtuanya dan juga kakaknya Minseok sudah pulang hari ini. Tapi
tetap saja, ia merasa sesuatu yang kurang.
Dan
ia bisa merasakan itu setelah ia–
Heerin
kembali menggelengkan kepalanya. Hilangkan pemikiran bodoh seperti itu, Shin
Heerin!, ia mencoba menanamkan sugesti pada otaknya agar ia tidak
memikirkan ‘hal itu’ lagi.
Setelah
merasa mendapatkan cukup udara malam yang segar, akhirnya Heerin memutuskan
untuk masuk ke kamarnya dan tidur. Tidak lupa ia menutup jendela yang
menghubungkan kamarnya dengan balkon.
Gadis
itu meletakkan iPod-nya di atas meja belajarnya. Ia tidak perlu merepotkan Minseok
dan ibunya yang selalu masuk ke kamarnya untuk mengecek keadaan putri bungsu
keluarga Shin itu.
Memikirkan
hal itu membuat Heerin tersenyum sendiri. Lalu ia merebahkan tubuhnya di atas
tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebalnya. Barulah ia
tertidur dengan pulas.
~oOo~
Oh iya buat yang nanya soal 'Dongwoo dan Joonyoung' itu nama kedua orangtuanya Heerin, ya. Nama lengkapnya Shin Dongwoo dan Chae Joonyoung.
NGGA. BUKAN SHIN DONGWOO ALIAS CNU 'B1A4' LHO, YA.
Anyway, review?
0 comments:
Post a Comment