Friday, May 9, 2014

[Fanfiction] The Beginning (Chapter 5)

Title: The Beginning

Chapter: 5/? [Last Day]
Genre: Romance, Comedy, (a little bit of) School-life

Rate: PG-12

Disclaimer: Plot belongs to me yet inspirated from my friend's fic (you can check it in here. The title of the fic is 'Between You and Me').

Cast:
-EXO members
-Original Characters

Summary: Pertemuan pertama pasangan yang kalian kira manis awalnya tidak semanis yang kalian kira.

Author notes:
Akhirnya bisa saya update juga chapter 5 huhuhu. Semacam ngakak juga sih karena saya nyelesaiin ini semalaman sampai jam 12 maleman, udah mau jam 1 pula cekaceka.
Anyway, happy read~ ^^




~oOo~

Tao menatap langit-langit kamarnya sembari berbaring di atas ranjangnya. Senyum masih tak luput dari wajahnya semenjak ia masuk ke kamarnya.

Masih tak dapat dilupakan olehnya sosok Hyunra. Tatapan kedua mata cokelat yang berbinar-binar itu, rambut panjang yang terlihat begitu lembut, tawa bahagia yang membuat Tao ikut tertawa mendengarnya, senyum manis seperti senyum seorang anak kecil yang bahagia karena dibelikan mainan yang diinginkan......

Gadis itu benar-benar tipenya. Dia seperti anak kecil berusia 4 tahun yang terjebak dalam tubuh seorang siswi kelas 1 SMP. Bahkan fisiknya saja seperti anak SD. Tidak seperti fisik Tao yang mengalami pertumbuhan kelewat luar biasa–terima kasih kepada wushu yang sudah ia pelajari semenjak ia masih kecil.

Selain itu, kepribadian Hyunra yang ajaib juga berhasil memikat hati Tao. Tidak hanya fisiknya yang terlihat seperti anak kecil–walau tidak separah Seungwoo, tetapi sifatnya yang begitu menggemaskan itu membuat Tao tertawa karenanya. Humor-humor jenaka yang keluar dari mulutnya, kehebohannya yang tidak berbatas, serta tidak lupa kepintaran gadis itu mengingat ia termasuk salah satu siswa di sekolah yang memperoleh nilai tinggi pada tes masuk–tadi Heerin dan teman-temannya sempat mengerjakan PR bersama.

Kembali Tao hanya bisa tersenyum bahagia mengingat hal-hal yang tadi ia alami ketika Hyunra dan teman-temannya yang lain datang ke rumahnya. Ah tidak. Tepatnya rumah saudara jauhnya Tao.

Lalu ketika gadis bermarga Park itu berpamitan pulang, ingin rasanya Tao mencegahnya agar gadis itu tetap berada di sisinya. Agar mereka bisa bercanda dan tertawa bersama....

Dan tampaknya pemuda kelahiran Qingdao itu akan betah untuk tinggal sementara di negeri ginseng itu. Karena selain ia bertemu dengan teman-teman yang sangat menyenangkan, ia juga telah bertemu dengan sosok yang dicarinya.

Siapa sangka cinta yang bersemi saat kau masih kelas 1 SMP terasa begitu menyenangkan?

~oOo~

Sekitar pukul 7 malam Joonmyeon baru pulang. Ia baru saja pulang dari rumah seorang senior kenalannya yang baru saja masuk SMA. Pemuda itu meminta untuk diajari beberapa materi yang masih agak tidak mengertinya.

Terutama soal pelajaran sejarah dunia. Entah kenapa otaknya yang sebenarnya bisa tergolong jenius itu agak kewalahan dalam menerima pelajaran sejarah dunia.

Begitu ia memasuki rumahnya, yang pertama ia dapati adalah sosok Heerin yang baru saja kembali dari dapur. Sementara para maid dan butler sudah pulang dari jam setengah 7 tadi.

“Kau sudah pulang,” ucap Heerin dengan nada ala kadarnya; datar. Joonmyeon menghela napasnya.

Ia jauh berbeda dengan para maid yang biasanya menyapaku dengan nada ramah yang tulus, komentar pemuda itu dalam hati.

“Tao eodiya?” tanya Joonmyeon begitu ia sadar kalau saudara jauhnya sedang tidak ada di tempat saat itu.

“Dia sudah berada di kamarnya. Mungkin kelelahan,” jawab Heerin ala kadarnya.

“Bagaimana tadi dengan teman-temanmu?” tanya Joonmyeon sembari menaruh ranselnya di atas sofa ruang tengah. Ia baru sampai ke rumahnya dan ia terlalu lelah untuk berjalan ke kamarnya yang berada di lantai atas.

“Eumm......baik-baik saja,” jawab Heerin dengan nada agak ragu. Sebenarnya ia masih ragu karena teman-temannya tadi datang ke rumah Joonmyeon tanpa izin dari Joonmyeon langsung.

“Sudahlah. Kau tidak usah merasa ragu seperti itu. Kalaupun ada aku di rumah juga aku pasti akan mengizinkan teman-temanmu untuk datang, kok,” seolah bisa apa yang ada dalam pikiran Heerin, dengan mudahnya (dan dengan suara yang lembut) Joonmyeon mengucapkan kalimatnya barusan.

Heerin sendiri sempat tersentak kaget mendengar ucapan Joonmyeon. Namun ia bisa mengatasi kekagetan sejenaknya itu.

“Kau tadi habis ngapain saja dengan teman-temanmu?” tanya Joonmyeon lagi. Kali ini membuat dahi Heerin mengernyit.

Dia ini.....kenapa, sih? Seperti orangtuaku saja, batin gadis bermarga Shin itu.

“Kami mengerjakan PR bersama mengingat PR-nya besok dikumpulkan. Tapi pada akhirnya kami melakukan hal-hal random, sih,” jawab Heerin.

“Ah jinjja? Terdengar menyenangkan,” ucap Joonmyeon. Bermaksud untuk ramah dengan gadis itu seperti biasa.

“Bukannya sunbae sendiri dari rumah teman sunbae? ‘Kan bisa main monopoli dan UNO di rumahnya,” tukas Heerin yang masih setia dengan nada datarnya. Lagi-lagi Joonmyeon hanya bisa menghela napasnya.

Kenapa gadis ini sulit sekali didekati, gerutunya dalam hati.

Malam itu pun berjalan dengan seperti biasanya. Ya setidaknya tidak berjalan seperti biasa untuk Tao.

~oOo~

-Keesokan harinya.....-

Hari ini, kedua orang tua Heerin serta kakaknya akan pulang. Itu berarti ini adalah hari terakhir Heerin menginap di kediaman keluarga Kim.

Tidak ada tempat seindah rumah, batin Heerin sembari membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Ia senang, akhirnya bisa kembali ke rumahnya juga walau sebenarnya rumahnya berada di sebelah kediaman keluarga Kim.

Tapi ya karena ia tidak memegang kunci rumah, mau bagaimana lagi?

Sementara itu, tampak seseorang yang tengah duduk di atas tempat tidurnya. Raut wajahnya terlihat tidak begitu baik. Dan sepertinya itu karena.....hari ini sudah tiba?

Joonmyeon mengacak kasar rambutnya. “Aish.....kenapa aku harus sedih karena ia sudah tidak disini lagi? Harusnya aku bisa tenang karena ia sudah tidak disini lagi,” rutuknya.

Ya, bagi kalian yang menebaknya dengan benar maka selamat. Seorang Kim Joonmyeon tidak senang karena ini adalah hari terakhir seorang Shin Heerin menginap di rumahnya.

Apa ia lupa kalau mereka berdua itu bertetangga?

Seseorang mengetuk pintu kamar Joonmyeon dari luar, dimana sang pemilik kamar menyuruh orang itu untuk masuk. Pintu pun terbuka dan menampakkan sosok Huang Zitao.

“Apa yang sedang kau lakukan, ?” tanya Tao sembari melangkahkan kedua kakinya ke dalam kamar Joonmyeon. “Dan.....kenapa rambutmu berantakan begitu?”

Joonmyeon hanya terdiam menatap saudara jauhnya itu. Mana mungkin dia menjawab alasan dibalik berantaknya rambut hitamnya itu, ‘kan?

Dan tampaknya, tanpa membutuhkan jawaban pun Tao sudah mengerti situasinya. Pemuda Cina itu menyunggingkan senyum usilnya.

“Oh, aku mengerti. Gēgē seperti ini karena hari ini Heerin akan pulang, ‘kan?” terka Tao. Dan benar saja, wajah Joonmyeon merona menahan malu karena dalam sekejap Tao bisa langsung menebak situasi yang tengah dialaminya saat ini.

Tao langsung tertawa puas karena tebakannya benar. “Sudah kubilang ‘kan kalau tidak hanya gēgē saja yang pintar. Aku pun juga.” Ia pun duduk di samping Joonmyeon yang masih terdiam itu.

“Sudahlah,  . Lagipula kalian berdua kan bertetangga. Rumahnya bersebelahan, pula! Kenapa juga kau harus sedih, sih?”

Joonmyeon menghela napasnya sebelum ia menjawab, “Aku juga tidak tahu.”

Tao hanya bisa menggelengkan kepalanya. Tetapi sebuah kalimat terlintas di otaknya yang membuat sebuah senyum usil kembali terukir di wajahnya.

, kalau kau tidak mau sedih seperti ini terus, nikahi saja dia. Biar bisa serumah,” ucapnya santai. Joonmyeon menoleh ke arah saudara jauhnya dengan kedua mata terbelalak lebar.

“APA?!?! YAISH KAU INI!” Joonmyeon pun langsung menyerang Tao dengan menggelitikinya. Spontan Tao pun langsung tertawa karena geli akibat digelitiki oleh Joonmyeon. Sampai akhirnya pintu pun kembali diketuk dari luar.

“Tuan muda, apa Anda ada di dalam?” terdengar suara Sung-ahjussi, membuat Joonmyeon menghentikan aktivitas ‘mari menggelitiki Tao’-nya. Sedangkan Tao sendiri merasa terselamatkan karena akhirnya bisa terlepas dari gelitikan saudara jauhnya yang –menurutnya– maut itu.

Ingatkan ia untuk berterima kasih kepada butler itu nanti.

Dan ternyata Sung-ahjussi memanggil mereka berdua untuk makan siang. Yah atau tepatnya makan siang yang terakhir bersama putri bungsu dari keluarga Shin–setidaknya begitulah cara Tao yang lain agar bisa meledek saudara jauhnya.

Ingatkan Joonmyeon untuk memberi pelajaran kepada saudara jauhnya ini nanti.

~oOo~

“Jadi Dongwoo dan Joonyoung akan pulang jam 2 nanti?” tanya ibu Joonmyeon kepada Heerin. Saat ini mereka sedang berada di ruang makan, tengah menyantap makan siang.

Sedangkan yang ditanya hanya menganggukkan kepalanya saja.

Pendiam sekali, pikir Joonmyeon yang melihat Heerin seperti itu. Sedari tadi semenjak ia tiba di ruang makan dan ikut makan siang –kedua orangtuanya dan Heerin sudah berada di ruang makan terlebih dahulu–, Joonmyeon tidak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis bermarga Shin itu.

“Kalau kakakmu?” kali ini giliran ayah Joonmyeon yang bertanya. Heerin tampak berpikir sejenak, membuat Joonmyeon jadi tersenyum melihatnya. Tak dipedulikannya kekehan dari Tao yang duduk di sampingnya.

“Sekitar jam 5 sore kalau tidak salah,” jawab Heerin akhirnya.

“Tidak terasa sudah 3 hari kau disini, Heerin-ah,” ujar ibu Joonmyeon. “Padahal ahjumma masih ingin kau disini.”

Heerin menyunggingkan senyum kecilnya sebelum ia berkata, “Kita ‘kan bertetangga, ahjumma. Lagipula juga aku ‘kan hanya menumpang saja disini.”

Tapi kau juga berperan penting dalam menarik perhatianku, Shin Heerin, batin Joonmyeon. Tatapan kedua matanya masih tidak bisa lepas dari gadis itu.

Merasa dirinya sedari tadi dilihati, Heerin pun menoleh ke arah Joonmyeon. Namun pemuda itu sendiri tengah menyantap makan siangnya dengan lahap. Dan kedua mata pemuda itu tidak menatap Heerin sama sekali.

Rumah ini ada ‘penjaganya’, ya?, tanya Heerin dalam hati. Gadis itu jadi bergidik ngeri memikirkannya.

Sementara itu Joonmyeon merasa lega karena dirinya tidak ketahuan tengah menatap Heerin daritadi. Kalau ketahuan......mungkin perang dingin diantara mereka akan masuk ke tahap lebih tinggi.

~oOo~

-Singkat cerita, malam harinya.....-

Seperti biasa Joonmyeon tengah belajar. Hanya saja kali ini materinya bukanlah matematika atau fisika yang merupakan pelajaran yang ia suka.

Melainkan sejarah. Pelajaran yang tidak pernah disukainya.

Besok ia ada ulangan harian sejarah. Jam pelajaran pertama pula. Membuat Joonmyeon yang sudah kelewat rajin itu harus mengulangi materi-materi sejarah yang sudah ia pelajari sebelumnya.

Unik sekali. Seorang cerdas seperti Kim Joonmyeon saja bisa tidak menyukai sejarah. Tapi lebih menyukai pelajaran rumit macam matematika dan fisika.

Saat sedang asyik belajar, seseorang mengetuk pintu kamar Joonmyeon dari luar.

Nuguya?” tanya Joonmyeon dengan suara agak dikeraskan tanpa mengalihkan pandangannya dari catatan sejarah di bukunya.

“Bolehkah appa masuk ke dalam?” orang itu–yang ternyata adalah ayah Joonmyeon bertanya balik.

“Masuk saja, appa,” Joonmyeon mempersilahkan ayahnya untuk masuk tanpa berniat untuk membukakan pintu untuk ayahnya. Entah kenapa catatan sejarah itu seolah menyuruhnya agar tidak beralih dari tempatnya saat ini.

Ayah Joonmyeon membuka pintu, berjalan masuk ke dalam kamar putra semata wayangnya itu. Dapat dilihat anaknya yang tengah belajar dengan serius itu. Membuat sang ayah tersenyum melihatnya.

Dengan langkah perlahan agar tidak mengusik keseriusan Joonmyeon, ayahnya mendekati Joonmyeon.

“Kau sedang belajar apa? Serius sekali,” tanya ayah Joonmyeon sembari duduk di salah satu kursi yang ada di dekat meja belajar Joonmyeon.

“Sedang mempelajari sejarah pra-kemerdekaan Korea Selatan,” jawab Joonmyeon. Dan lagi, pandangannya masih tidak teralih dari catatan-catatan sejarah yang begitu membuat kepalanya agak penat itu.

“Apa kau mengalami kesulitan pada pelajaranmu?” tanya ayah Joonmyeon lagi.

“Yah walaupun terkadang sulit aku sering meminta bantuan kepada anaknya tuan Lee,” jawab Joonmyeon. Sang ayah menganggukkan kepalanya paham.

Ayah Joonmyeon jadi teringat akan tujuan utama mengapa ia ke kamar anaknya itu.

“Begini, Joonmyeon-ah,” mulai ayah Joonmyeon. “Kau tahu ‘kan kalau kau satu-satunya anak di keluarga ini?”

Joonmyeon menganggukkan kepalanya sekali. “Ne. Lalu?”

“Itu berarti kau yang akan menjadi pewaris perusahaan milik appa.”

“Aku tahu itu. Lalu?”

“Karena dari itu kau harus bisa menempuh pendidikan dengan baik agar kau bisa mendapat pendamping hidup yang baik pula,” mendengar kalimat ayahnya barusan membuat Joonmyeon menghentikan kegiatannya sejenak. Ia menolehkan kepalanya ke arah ayahnya, menatap sang ayah dengan tatapan bingung.

Kenapa tiba-tiba ayahnya membicarakan masalah ‘pendamping hidup’? Lulus sekolah menengah pertama saja belum. Sudah diajak bicara hal seperti ini, pikirnya.

“Maksud ayah mendapat pendamping hidup yang baik?” Joonmyeon bertanya balik.

“Sebelumnya appa ingin bertanya dulu padamu. Kau jawab dengan jujur. Apa kau punya yeojachingu?” tanya–atau tepatnya interogasi ayah Joonmyeon.

Joonmyeon sedikit mendengus mendengar kata ‘yeojachingu’. Atau dengan kata lain, kekasih.

Eobseo,” jawab Joonmyeon singkat dan padat.

Jinjjayo?” Joonmyeon meringis sebal.

Jinjja, appa. Kenapa sih kau tidak percaya pada anakmu sendiri? Appa tahu sendiri aku lebih tertarik belajar daripada mencari yeojachingu,” ujar Joonmyeon. Ya memang benar sih. Ia lebih senang belajar daripada sibuk mencari gadis yang tepat untuk dijadikan kekasihnya. Ia bukan orang yang tertarik pada percintaan.

Mendengar ucapan anaknya membuat ayah Joonmyeon tersenyum puas. Joonmyeon sendiri yang melihatnya langsung menaikkan sebelah alisnya.

“Memangnya ada apa, sih?” tanya Joonmyeon lagi. Ia berusaha mengalihkan dirinya dari pembicaraan yang –menurutnya– menyebalkan itu dengan melanjutkan kegiatan belajar sejarahnya.

Dia berharap semoga ayahnya tidak membawa-bawa mengenai–



“Kalau begitu kau mau ‘kan menerima Heerin sebagai pendamping hidupmu?”



–perjodohan.



Tunggu. Apa katanya tadi? Kenapa ada nama Heerin?



Joonmyeon sudah kehilangan minatnya untuk belajar pada malam itu juga. Ia lebih tertarik mendengarkan apa yang ingin ayahnya bicarakan kepadanya. Tentu saja, karena sang ayah membawa-bawa nama Heerin. Yang tidak lain adalah tetangganya yang pendiam dan dingin itu.

“Tadi appa bilang apa?” Joonmyeon bertanya, memastikan bahwa tadi ia tidak salah mendengar.

“Begini. Ayah bisa melihat kalau Heerin itu anak yang sangat baik. Dia juga tidak begitu banyak bicara, dan ia juga pintar–untungnya ia tidak maniak belajar,” Joonmyeon merasa tersindir mendengar kalimat terakhir yang diucapkan ayahnya tadi.

“Ayah dan ibu merasa kalau dia cocok bersamamu,” dan di detik berikutnya kedua mata Joonmyeon membelalak mendengar kalimat yang baru saja ia dengar.

Heerin? Shin Heerin? Shin Heerin yang pendiam dan dingin itu, cocok dengan Kim Joonmyeon?

Joonmyeon tidak salah dengar, ‘kan? Bolehkan ia bahagia pada saat itu juga?

...eh, tunggu. Kenapa ia harus bahagia?

Dan kenapa wajahnya harus memanas di saat itu pula?

“Bagaimana menurutmu? Ayah merasa kau juga berpikir seperti itu,” suara ayahnya berhasil menyadarkan Joonmyeon dari dunia lamunannya.

“E-eh? A-aniya....b-buat apa aku berpikir, s-seperti itu?” tanya Joonmyeon terbata-bata. Sialnya ayahnya sudah menyunggingkan senyum penuh arti kepadanya.

“Kau pikir ayah tidak menyadarinya? Ayah tahu kalau sebenarnya kau ingin mencoba dekat dengannya. Bahkan ayah tahu kalau saat makan siang tadi kau asyik menatap Heerin sampai tersenyum sendiri segala,” jawab ayah Joonmyeon santai.

Joonmyeon sempat berpikir kalau Tao menjadi salah satu alasan mengapa ayahnya bisa tahu. Saudara jauhnya yang satu itu ‘kan sangat mendukung Joonmyeon dan Heerin....

Ayah Joonmyeon menaruh tangan kanannya pada bahu anaknya. “Tenang saja, Joonmyeon-ah. Ayah mendukungmu, kok. Kalian berdua hanya perlu sedikit waktu agar bisa dekat,” ujar sang ayah. Ia pun beranjak dari tempatnya duduk kemudian berjalan keluar dari kamar Joonmyeon.

Tetapi ketika ayah Joonmyeon berada di daun pintu dan baru saja ingin menutup pintu kamar putranya, ia melanjutkan ucapannya, “Kalau mau jadikan dia nyonya muda di keluarga ini. Arachi?”

Tepat setelah itu sang ayah menutup pintu dari luar. Meninggalkan Joonmyeon yang terbengong-bengong mendengar perkataan ayahnya barusan.

Tak lama, pemuda itu langsung mengacak rambutnya sebelum ia bergumam, “Aish......memalukan sekali.”

~oOo~

-Sementara itu, di rumah sebelah....-

Heerin tengah memainkan game pada komputer yang ada di kamarnya. Biasanya gadis itu sangat fokus kalau sudah melakukan sesuatu, terutama kalau sudah bermain game.

Namun baru kali ini seorang Shin Heerin tidak bisa fokus dalam kegiatan bermain game-nya.

Ia mendesah nafasnya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk mematikan komputernya saja. Begitu komputernya sudah dimatikan, Heerin terdiam sejenak di tempat duduknya.

Kenapa ia merasa aneh sekali sekarang? Padahal sebelumnya ia tidak pernah merasa seaneh ini. Tidak sebelum ia–


Tunggu. Kenapa jadi membawa-bawa hal itu?


Gadis bermarga Shin itu menggelengkan kepalanya. Aniya, masa iya karena hal seperti itu sih?, batinnya.

Ia membutuhkan udara segar. Maka Heerin memutuskan untuk ke balkon kamarnya sebentar sebelum akhirnya ia tidur. Tidak lupa ia membawa iPod-nya untuk mendengar lagu. Sudah menjadi kebiasaan baginya kalau sebelum tidur ia harus mendengarkan beberapa lagu terlebih dahulu.

Hanya saja satu yang aneh; kenapa harus mendengarkan lagu di balkon? Biasanya ia langsung mendengarkan lagu begitu ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Dan ia akan tertidur hingga keesokan paginya gadis itu menemukan iPod-nya sudah berada di atas meja belajarnya–terima kasih kepada sang kakak  atau sang ibu yang dengan baik hati mau memindahkannya.

Ya itu tadi. Mungkin karena ia sedang membutuhkan udara segar.

Begitu berada di balkon kamarnya, Heerin segera memasang headset-nya yang sudah tersambung dengan iPod-nya kemudian memutar lagu yang ada di iPod-nya.

Ia menyandarkan tubuhnya pada kedua tangannya yang bertumpu pada railing balkon sembari menikmati segarnya udara malam yang menerpa. Inilah yang dibutuhkan Heerin saat ini. Udara segar yang bisa membantunya untuk menjernih pikirannya.

Entah apa yang menghantui pikirannya saat ini. Ia sendiri juga tidak mengerti. Ia merasa ada sesuatu yang aneh dan sesuatu itu terus mengganjal pada dirinya. Ia merasa ada sesuatu yang.....kurang.

Aneh. Padahal kedua orangtuanya dan juga kakaknya Minseok sudah pulang hari ini. Tapi tetap saja, ia merasa sesuatu yang kurang.

Dan ia bisa merasakan itu setelah ia–

Heerin kembali menggelengkan kepalanya. Hilangkan pemikiran bodoh seperti itu, Shin Heerin!, ia mencoba menanamkan sugesti pada otaknya agar ia tidak memikirkan ‘hal itu’ lagi.

Setelah merasa mendapatkan cukup udara malam yang segar, akhirnya Heerin memutuskan untuk masuk ke kamarnya dan tidur. Tidak lupa ia menutup jendela yang menghubungkan kamarnya dengan balkon.

Gadis itu meletakkan iPod-nya di atas meja belajarnya. Ia tidak perlu merepotkan Minseok dan ibunya yang selalu masuk ke kamarnya untuk mengecek keadaan putri bungsu keluarga Shin itu.

Memikirkan hal itu membuat Heerin tersenyum sendiri. Lalu ia merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut tebalnya. Barulah ia tertidur dengan pulas.
 
~oOo~

Oh iya buat yang nanya soal 'Dongwoo dan Joonyoung' itu nama kedua orangtuanya Heerin, ya. Nama lengkapnya Shin Dongwoo dan Chae Joonyoung.


NGGA. BUKAN SHIN DONGWOO ALIAS CNU 'B1A4' LHO, YA.


Anyway, review? 

0 comments:

Post a Comment

 
;